Halo teman-teman. Maaf baru update lagi. Draft aku simpan di laptop, dan setelah sebulan lebih ini baru bisa pegang laptop sekarang huhu. Semoga feel-nya dapet. Selamat membaca 😄
🍂
Aku tahu.
Aku..
“Rumi?”
Selama aku termenung, Nata sudah berdiri di depanku. Matanya mengedar ke arah belakang—seolah sedang mencari keberadaan seseorang.
“Aurumi?”
Aku tersadar.
“Nata?”
Dia menaikkan alisnya.
“Nata, kenapa kamu gak bilang kalau mau pergi hari ini?”
Akhirnya aku tidak dapat menahan diriku lagi.
“Kenapa? Ada perlu, Rum?”
Kamu ya anjir, aku udah lari-lari sepanjang jalan pake training sama sandal jepit doang, mana
cape, haus, gak bawa duit, terus nyampe sini malah ditanya ‘ada perlu apa?’ kamu sehat?!—Ya
begitulah isi kepalaku.Tapi, tetap saja yang keluar malah—
“Enggak, kaget aja kamu tiba-tiba pergi.” Ujarku setenang mungkin.
Nata mengerutkan dahinya bingung.
Ladies and Gentlemen..
Dia menatap arloji, “Rumi, saya—”
“Nata lima detik aja, aku mau bilang sesuatu. Tapi aku gak mau ngomong ini di telepon.” Potongku cepat.
“Ok—”
“Halo.”
Aku dan Nata terlonjak kaget saat suara laki-laki asing berkacamata yang menyembulkan kepalanya dari belakang ceruk leher Nata menginterupsi obrolan kita.
Laki-laki itu mensejajarkan tubuhnya di samping Nata.
Perawakannya tinggi semampai, kalau diperhatikan mungkin lebih tinggi 1-2 cm dari orang di sampingnya.
“Halo, maaf ganggu, tapi ini sudah waktunya berangkat.” Ucapnya sambil merangkul pundak Nata.
Aku melongo, menatapnya penuh tanya. Mataku beralih ke arah Nata yang hanya memain-mainkan kertas tiket kereta.
“Saya ada perlu sama Nata sebentar. Ah, pacarnya Wiranata, kan?”
Nata sontak menyikutnya, “PA!”
PA?!
“Oh bukan?” Dia terkekeh.
Nata memalingkan wajah. Lalu menatap arlojinya kembali.
“Pa, udah jam dua.” Katanya, sembari menyentuh daun telinganya yang sedikit memerah.
Lelaki di sampingnya menolehkan kepalanya ke antrian di pintu keberangkatan yang sudah hampir menipis.
“Ya sudah, bilangkan Mama kalau Papa gak akan ke rumah Tante Linda. Ah, bilang juga handphone Papa mati. Mau dicharge di kereta saja.”
PAPA?!
Nata mengangguk, “Oke.”
“Oh iya,” Orang yang menyebutkan dirinya sebagai Papanya Nata itu kini menatapku.
“Wiranata gak ikut ke Semarang, kok. Cuma ngantar. Tenang saja, masih bisa ngobrol lama.” Sambungnya yang diakhiri dengan kekehan kecil.
Hah?