"Gak tidur lagi, kan?" Kata Ibu saat aku bergabung di meja makan.
Judulnya memang bergabung, tapi nyatanya aku hanya memeluk kaki di atas kursi sembari mengeratkan sweater rajutku yang hampir menipis.
"Enggak."
"Kamu padahal masuk kamar paling cepet, tapi masih keliatan ngantuk." Ibu membulak-balik kemasan sosis yang baru saja dikeluarkannya dari freezer.
Sontak bibirku terkatup dan setengah ingin terseyum.
"Eh, Nata pulang kapan, ya?"
Setelah mendengar itu, bahuku menurun seketika. "Gak tau, belum nanya."
"Dia gak ada tuh Toko Widjaya auranya kayak gimana gitu."
"Iya, cowok ganteng kesayangan ibu-ibu." Kataku sembari mendecih.
Alis Ibu terangkat satu, "Apaan, Ibu gak bilang ganteng."
"Maksudnya Nata favorit ibu-ibu, gitu."
"Favorit apa ganteng?"
"NATA GANTENG SAMA FAVORIT JUGA!"
"Nah gitu dong, gak usah ngeles."
"Ibu mah,"
"Duh, jadi kangen Nata."
"IBU MAAHHH!"
"Kangen Nata kalau tiap ketemu suka senyum ganteng, mana wangi lagi."
"IBUUU MAHHH KOK GITUUU!!!"
Tawa Ibu memenuhi ruang dapur yang semakin menghangat.
"Rum, ini tolong potongin sosisnya, ya. Sarapan nasi goreng aja, oke?" Ibu mencolek daguku—menggoda.
Untung Ibu, untung sayang.
🍂🍂🍂
Layar ponselku masih melakukan proses loading saat aku mengaktifkannya kembali.
Dan tadaa.. notifikasi bermunculan, dari yang tidak penting sampai yang..
Mataku membulat seketika, bersamaan dengan detak jantung yang kian memacu.
"Ibu,"
"Hm?"
Tanpa berbicara apapun, aku berlari ke luar.
Udara dingin seketika menusuk saat pintu rumah terbuka.
Tanganku mencengkram gagang pintu erat saat mataku menangkap tubuh jangkung berwajah pucat di depan pagar rumah.
"Nata?!"
Iya, Nata, bukan hantu.
Dia menghela nafas saat melihatku.
Aku berlari ke pintu pagar yang masih terkunci.
"Kamu kok bisa di sini, sih? Dari Jakarta jam berapa? Papa kamu gimana? Enci Lin udah tau?"