Aku mengerti, perjalanan hidup yang kini kau lalui
Ku berharap, meski berat kau tak merasa sendiri
Kau telah berjuang, menaklukkan hari-harimu yang tak mudah
Biar ku menemanimu, membasuh lelahmu
(Budi Doremi - Melukis Senja)***
Petang itu tak seperti sebelumnya. Kejadian kemarin malam sepertinya cukup banyak mengubah peta. Andro tak lagi pergi menjelang maghrib tiba. Ia salat maghrib di masjid bersama papa, lalu anteng di rumah sesudahnya. Ia bahkan menawarkan diri untuk membukakan pintu ketika tahu yang datang adalah Salma.
Ada yang berbeda dia rasakan saat berhadapan dengan guru ngaji mamanya. Apalagi mendengar suara merdunya mengucapkan salam. Kayak ada manis-manisnya gitu. Aish.
"Masuk dulu, Sal. Mau langsung ke belakang apa duduk dulu?" tanyanya sok akrab.
"Monggo, saya manut saja, Mas."
"Ya udah, kalau gitu langsung ke hatiku aja, gimana?" Andro mulai melancarkan serangannya.
Salma tersenyum geli. Dalam hati berkata, bisa-bisanya mase iki.
"Ya udah, langsung ke belakang aja ya, Sal. Mama sama Mbak Rea udah nunggu di mushola."
"Iya, Mas. Terima kasih banyak."
"Oh iya, kamu naik apa ke sininya?"
"Angkot, Mas."
"Terus dari gerbang perumahan, jalan?" Salma mengangguk.
"Nggak kapok udah kejadian kayak kemarin?"
"Eh, s-saya baik-baik saja kok, Mas."
"Boleh aku minta nomor HP kamu?"
"Eh, b-buat apa, Mas?"
"Mulai besok biar aku yang antar jemput kamu."
"Nggak usah, Mas. Nggak usah repot-repot."
"Ya udah, nanti aku minta ke mama aja. Silakan kalau mau langsung ke belakang. Udah ditunggu mama." Salma mengangguk, kemudian berlalu.
Usai salat isya di masjid bersama, lagi-lagi Andro tak ke mana-mana. Ia ngobrol berdua dengan papanya di teras samping, membahas rencana mengenai dia dan Salma. Mereka memang berencana untuk menyampaikan maksud baik kepada Salma. Nanti, setelah mamanya selesai belajar mengaji.
"Ustadzah, pulangnya biar kami antar ya, sekalian mau ketemu Bu Miska," kata mama Andro usai Salma menutup sesi belajar malam itu.
"Oh, nggih, Bu. Bu Miska sudah tahu?"
"Insya Allah sudah. Tadi saya sudah telepon. Ustadzah makan dulu ya."
"Nggak usah, Bu. Sudah malam."
Mama tak memaksa, hanya memanggil Bu Jani untuk membantu membawakan beberapa box berisi kudapan dan minuman yang sudah disiapkan. Andro dan papanya menunggu mobil.
Mama mempersilakan Salma untuk duduk di belakang bersamanya. Bertiga berupaya membangun kedekatan dengan si calon anggota keluarga. Itu juga kalau Salma menerima.
"Ustadzah sudah ada rencana menikah?" Mama meramaikan perjalanan dengan pertanyaan yang to the point.
"Eh, tidak ada, Bu. Saya tahu diri saja, Bu. Orang seperti saya mungkin akan sulit dapat jodohnya."
"Lho, kenapa begitu?"
"Y-ya karena asal usul saya yang tidak jelas. Orang tua saya saja tidak menginginkan saya. Bahkan cuma saya satu-satunya yang sejak bayi sampai sebesar ini masih tinggal di panti. Yang lain sudah berganti-ganti, ada yang dijemput orang tuanya, ada juga yang diadopsi." Salma menelan ludah, juga segala kepedihan hatinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Move On
General FictionKeinginan dari keluarga ditambah rasa iba membuat Andro nekat melamar Salma, guru ngaji mamanya. Ia sadar, belum bisa sepenuhnya melupakan Zulfa. Maka muncul pula keraguan, bagaimana jika Salma hanya menjadi pelarian saja? Berbekal niat baik dan ras...