74. Pengkhianatan

1.9K 359 50
                                    

Tanah dicangkul buat nanam tomat. Lama nggak muncul, sekalinya muncul judulnya ngeri amat.
Wkwk....
-----

Hampir tiga bulan Andro dan Salma menghabiskan hari-hari di Surabaya. Andro sibuk dengan kerja praktiknya. Sesekali ke Semarang bersama ketiga teman yang juga kerja praktik di perusahaan papanya. Perkuliahan sudah dimulai dua pekan ini.

Salma tak terlalu mempermasalahkan kesibukan sang suami, sebab sejak status kekeluargaannya dengan Dokter Ardhito terungkap, ia beserta Andro dan Najma lebih banyak menghabiskan waktu di rumah orang tuanya. Hanya di akhir pekan saja mereka berkunjung dan menginap di kediaman keluarga Antariksa.

Andro sendiri merasa enjoy saja menghabiskan hari-hari di tengah keluarga Salma. Baginya, melihat Salma merasakan bagaimana bahagianya hidup di tengah keluarga yang utuh, itu sudah lebih dari cukup. Komplain, keberatan, dan semacamnya sudah tak ada lagi.

Pagi itu keduanya sedang bersiap,  hendak kembali menjalani hidup di perantauan. Tentu saja kepulangan mereka kali ini butuh persiapan lebih, karena ada bayi dengan segala perintilan yang nyaris memenuhi SUV putih milik Ardhito.

"Duh, asem tenan! Laptopku ketinggalan di Pakuwon, Sal," umpat Andro. Mukanya terlihat masam. Kecerobohan semacam ini selalu berhasil menurunkan mood-nya.

Semalam salah satu karyawan Antariksa membantu Andro urusan data-data. Mungkin saking buru-buru ingin pulang dan ketemu anak istri, Andro tak sadar laptopnya tertinggal. Ranselnya sudah berat oleh buku-buku yang ia ambil dari perpustakaan papanya.

"Tumben? Biasanya Mas kalau urusan kayak gitu selalu teliti, lho." Betul kata Salma, memang tidak biasanya Andro demikian.

"Ya namanya juga manusia, Sal, tempatnya salah dan lupa."

"Ya, untung cuma laptop, bukan anak yang ketinggalan," goda Salma. Andro makin kesal kekonyolannya tempo hari dibahas lagi. Ditariknya Salma dan menjatuhkan satu kecupan di bibirnya nan kemerahan.

"Itu hukuman buat kamu." Salma terkikik lagi.

"Berarti gimana? Mas ke Pakuwon dulu?"

"Enak aja. Nggak, lah. Kita ke sana, terus langsung cabut ke Semarang."

Salma mengiyakan, meski sebenarnya ingin menawar. Kembali ke Semarang kali ini rasanya bahkan lebih berat dari saat pertama mendampingi Andro. Dulu, sesaat setelah mereka menikah.

Dokter Ardhito dan Bu Dita pun sama, terlihat berat saat melepas anak, menantu, dan cucu mereka. Padahal besok sore mereka juga akan menyusul ke Semarang.

Air mata mengiringi lambaian tangan Salma pada ayah ibunya. Andro melirik, menahan tawanya. Merasa sikap istrinya terlalu lebay untuk perpisahan yang hanya akan terjadi tak sampai 2x24 jam.

SUV pabrikan Korea meluncur dengan kecepatan sedang. Obrolan ringan mewarnai perjalanan pasangan muda yang selalu dipenuhi dengan cinta. Sesekali terjadi perdebatan tak penting, berebut mengklaim wajah Najma paling mirip dengannya.

"Sudah lah, Sayang, akui saja kalau Naj itu mirip banget sama aku. Cuma matanya aja yang mirip kamu. Nggak usah ngeyel. Kalau soal mirip-miripan, malaikat juga tahu, siapa yang jadi juaranya."

Mobil memasuki halaman rumah keluarga Antariksa. Andro menutup percakapan mereka dengan "I love you, Salmaku" dan satu kecupan hangat di kepala istrinya.

Di halaman yang cukup luas dengan rumput yang terpotong rapi, Andro melihat papanya sedang bermain bola bersama seorang bocah laki-laki, mungkin empat atau lima tahunan. Salma ikut melihat, hanya butuh sekian detik baginya untuk mengingat siapa bocah laki-laki itu.

Move OnTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang