Sejak sepuluh menit lalu, jantung gadis berkerudung putih itu terus berdegup tak beraturan. Beruntung motor matik yang sudah satu tahun menemani hidupnya sudah tertata rapi di parkiran. Kakinya bergegas meninggalkan kendaraan roda dua tersebut. Sialnya... baru tiga kali melangkah ternyata ia baru ingat bahwa di atas kepala masih ada helm.
"Astaghfirullah... hal seperti ini, nih, yang bikin lama!" Cira menggerutu seraya meletakkan pelindung kepala berwarna merah muda di atas spion.
Irama ketukan pantofel hitam yang dipakai Cira terdengar sangat cepat. Dua bulat hitamnya terus memandang papan pintu berjarak sepuluh meter yang sudah tertutup rapat.
Dari sebelah kanan, seorang satpam berjalan ke arah gadis yang baru saja sampai di kampus tersebut.
"Ayooo... ayooo, Cira cepet masuk. Ibu Sri udah masuk dari tadi," ucap Pak Ujang berusaha memberitahu Cira bahwa kuliah sudah dimulai.
Mendengar ucapan Pak Ujang hal itu justru membuat keringat dingin mendadak keluar. Cira merasa jiwa dan raganya benar-benar sedang dipertaruhkan. Pasalnya, minggu lalu ia baru saja terlambat mata kuliah Ibu Sri.
Gadis malang itu berjalan perlahan menyusuri tembok penghalang ruang kelas. Dari luar, matanya berusaha mengintip kegiatan di dalam lewat jendela. Tubuhnya melemas ketika mengetahui materi yang dibawakan Ibu Sri sudah terlewat cukup jauh.
Cira terpaku. Ia hanya bisa berharap semoga Allah memberi kemudahan agar bisa masuk mata kuliah pagi ini.
Gadis berkerudung panjang itu menarik napas berat dan mengembuskan secara perlahan.
"Bismillah... tenangkan aku Ya Allah."
Cira maju beberapa langkah menuju pintu, dengan hati yang dipenuhi rasa takut ia berusaha memberanikan diri untuk mengetuk pintu dengan suara sangat lembut.
",Assalamu'alaikum," ucap Cira.
Gadis itu sangat berharap Ibu Sri tidak memarahi dirinya.
Usai mengucap salam, Cira mendengar suara Ibu Sri. Dari lubang kecil di dekat pintu kedua bulat hitamnya mendapati suasana kelas yang cukup tegang.
"Siapa itu yang di luar?" tanya Ibu Sri pada mahasiswi di kelas.
"Cira, Bu," jawab salah seorang yang juga berada di ruangan tersebut.
"Coba bukain pintunya!"
Setelah salah seorang mahasiswi membukakan pintu, kaki Cira menapaki lantai ke ruangan dengan perlahan. Namun, baru dua langkah, Ibu Sri berkata dengan nada yang cukup tinggi sehingga mengagetkan gadis itu.
"Kenapa kamu telat?"
Cira bingung. Ia berusaha mencari alasan yang tepat, tetapi tidak membuahkan hasil. Gadis itu benar-benar panik akibat rasa takut yang sedang dihadapi.
Napas Cira terdengar sangat tak beraturan. Bicaranya terpenggal-penggal.
"Em... soalnya Mama nggak tahu, Bu kalau Cira ada kuliah pagi ini."
"Kenapa bawa-bawa ibu kamu?" tanya Ibu Sri.
"Iya soalnya Cira tidurnya sama Mama, Bu."
"Kamu gimana mau jadi bidan kalau tidur aja masih sama orangtua? Bidan itu harus mandiri! Nggak manja kayak kamu! Minggu kemarin juga kamu telat, kan... kalau minggu depan masih telat nggak usah masuk kuliah saya lagi."
Cira tertunduk. Setelah itu ia kembali melangkah ke arah Ibu Sri untuk mencium punggung tangan dosen mata kuliah Konsep Kebidanan tersebut.
Mahasiswa kebidanan semester satu itu duduk di kursi kosong dan segera memperhatikan materi. Cira menyaksikan Ibu Sri menerangkan tentang paradigma asuhan kebidanan lewat tayangan powerpoint.
KAMU SEDANG MEMBACA
Asuhan Bidadari Idaman [End di Bestory]
Ficção GeralTenaga medis merupakan salah satu pekerjaan mulia dan sangat dibutuhkan kebanyakan orang. Tak sedikit pula di antara penerus bangsa yang bercita-cita menjadi petugas kesehatan, salah satunya Ciralva Aizyah, gadis asal Bandung yang berharap bisa berp...