21 💖 Keajaiban Ibu

47 5 2
                                    

Aroma obat dan wangi pembersih lantai rumah sakit sudah tak asing lagi bagi hidung Cira. Bau-bauan tersebut menjadi temannya selama tujuh hari berbaring di rumah sakit. Di masa tersebutlah gadis itu mulai tertarik dengan sosok Bidam yang tiap hari menjenguk serta menjaga dirinya di ruangan tersebut.

Teman-teman Cira dari kalangan remaja masjid, sahabat kecil, kenalan virtual, kawan masa sekolah hingga rekan dinas di puskesmas dan beberapa mahasiswi AKNIH pun berdatangan menjenguk serta memberi semangat. Hal tersebut jelas membuat Cira bahagia, di tengah keasingan karena lingkungan kampus yang tak menyukai cara berpakaiannya, ternyata masih banyak orang-orang yang mencintai dengan tulus. Begitu banyak para penyemangat yang datang dan menunggu kesembuhan gadis cantik tersebut.

Sejak divonis mengidap radang selaput otak, Cira semangat untuk mencapai kesembuhan. Gadis itu juga selalu brusaha untuk tidak meninggalkan tilawah setiap saat. Ia bertekad harus tetap bersama Al-Qur'an, agar jika dirinya mati detik itu, maka dalam keadaan mempunyai wudhu dan sudah membaca kitab suci.
***

Sejak dilakukan tindakan lumbal pungsi, Cira semakin sering merasakan perih di dalam kepala. Setiap malam kepala serta rambutnya harus selalu dibelai untuk mengurangi rasa sakit dan memudahkan tidur.

Hari ke sepuluh berada di rumah sakit sudah membuat Cira bosan. Gadis itu ingin segera pulang, tetapo dokter belum membolehkan. Katanya masih butuh perawatan yang lebih khusus lagi agar bisa terbebas dari meningitis.

Walau rasa sakit sering menyelimuti tubuh terutama kepalanya, tetapi Cira selalu menampakkan semangat dan keceriaan. Sehingga hal itu membuat keluarga terutama orangtuanya menjadi lebih kuat. Namun, sore hari yang sebelumnya terlihat biasa saja tiba-tiba menganggu ketenangan Cira.

"Ma, badan aku panas semua." Gadis itu merengek seolah tak kuat menahan.

"Ya Allah, atuh, gimana? Mama panggil perawat, ya?"

"Terserah Ma... lakuin apa aja biar kepala sama badan Cira nggak panas lagi." Mata gadis itu mulai berbinar serta giginya mulai menggigit bibir bagian bawah.

Kharidma meminta Abisatya menemui perawat untuk memberi informasi tentang keadaan putrinya.

Setelah melakukan pemeriksaan tanda-tanda vital secara umum, petugas kesehatan mengatakan bahwa suhu badan Cira normal, tak sepanas yang diceritakan. Namun, gadis itu menyangkal dan meyakinkan semua orang bahwa dirinya benar-benar merasakan panas yang dahsyat!

Panas yanh menjalar ke seluruh bagian tubuh belum reda, kini keluhan baru dirasakan gadis malang itu.

"Ma, kepala aku perih," ucap Cira seraya menggosok-gosok kerudung yang menutupi rambutnya.

Kharisma terus membelai kepala sang anak. "Yang kuat, ya, Sayang."

Kali ini Cira tidak bisa berbohong. Gadis itu tampak tidak bisa menahan rasa sakit yang dideritanya. Ia menangis dan sedikit berteriak. Air matanya mengalir begitu deras seolah mewakili rasa sakit tersebut.

"Ma... panas banget badannya. Kepala aku juga perih," ungkap Cira tetap dalam keadaan menangis.

"Mamah nggak ngerti harus gimana? Jam segini, kan, dokter nggak ada."

Kharisma hanya bisa ikut menangis dengan terus menciumi putri bungsunya.

Perawat sudah memberikan obat penurun panas, tetapi rasa panas itu masih bisa dirasakan Cira. Bahkan jauh lebih panas dari malam pertama sebelum dirinya dirawat.

Di tengah suasana genting karena keadaan Cira yang memburuk Abas datang ke ruangan menyaksikan keponakannya sedang sekarat. Pria itu mengedarkan pandangan dan mendapati kakak serta saudara iparnya sedang tidak baik-baik saja.

"Cira kenapa, Kang, Ce?" tanya Abas pada Abisatya dan Kharisma.

"Beginilah, Tad...." Abisatya tak bisa mendeskripsikan keadaan Cira.

"Katanya panas lagi, Bas... mungkin penyakitnya lagi kambuh. Katanya ada rasa perih di kepala juga." Kharisma menahan isak tangis.

Abas mengambil segelas air putih, kemudian membacakan ayat-ayat suci. Pria itu mendekat ke arah kakak dan keponakannya.

Abas memegang kepala Cira dan mengusap rambut sang keponakan dengan lembut. Lalu ia meniupkan dan meminta gadis yang sedang berbariny itu untuk meminum air tersebut.

Baik Cira, Abisatya ataupun Kharisma tak pernah melihat Abas menangis selain dakwah di atas mimbar, tetapi hari ini seluruh orang di ruangan mendengar Abas menangisi Cira.

"Ya Allah... Nak... yang kuat, ya. Cira yang kuat... Allah pasti sembuhkan. Cira lagi disayang sama Allah." Pria itu mencium kepala Cira yang terbalut kerudung.

Cira hanya bisa berzikir seraya menahan rasa sakit serta panas yang melanda tubuhnya. Gadis itu selalu bergumam, "Ya Allah, jika aku mati. Matikan aku dalam keadaan suci, sudah salat dan membaca Al-Qur'an."

Detengah jam sudah peristiwa menyakitkan Cira itu berulang, tetapi rasa panas belum juga berkurang. Gadis itu benar-benar tidak bisa menahan rasa sakit. Suhu di badannya pun terasa semankin meningkat. Ia hanya bisa menangis dan berpikir bahwa usianya tak lama lagi.

Di luar dugaan! Kharisma justru membuka resleting gamis yang dipakai sang anak yang terletak di punggung. Setelah terbuka, lalu ia menjilati tubuh kotor Cira yang belum mandi selama lebih dari10 hari. Wanita itu meletakan lidahnya di atas permukaan kulit anaknya tanpa  rasa jijik.

Cira mendengar ibunya terus menangis dan menyebut nama Allah.

"Ya Allah... sembuhkan anakku. Ya Allah... sembuhkan Cira. Aku melakukan ini untuk kesembuhan anakku, Ya Allah... aku sangat menyayangi Cira! Sembuhkan dan cabutlah rasa panas serta rasa sakit yang dideritanya."

Seiring tindakan Kharisma yang terus menjilati tubuhnya, Cira terus menangis. Pikirannya mulai terbuka lebih lebar. Allah membiarkan dirinya hidup untuk apa lagi jika bukan untuk beribadah dan berbakti pada kedua orangtua?

Beberapa menit setelah Kharisma melakukan hal tersebut, ia berkata, "Gimana? Masih panas badannya?"

Cira mengerutkan keningnya. Rasa panas itu seketika hilang dan gadis itu benar-benar heran.

"Mama kenapa jilatin badan aku?" tanya Cira merasa terharu.

"Orang di kampung itu kalau bayinya sakit panas atau pilek, ibunya pasti jilatin badannya. Makanya Mama jilatin kamu."

"Tapi, kan, aku bukan bayi, Ma. Aku udah besar, badan aku kotor. Bayi, kan, wangi." Cira terus menangis.

"Kamu bukan bayi, tapi kamu anak Mama. Sebesar apa pun kamu, di mata Mama tetaplah seorang bayi," katanya dengan mata yang berbinar.

Karena sakit ini, Cira bisa melihat satu keajaiban dari doa tulus seorang ibu. Karena ketulusan kasih sayang ibu, Allah memberikan kesembuhan serta mengabulkan doa Kharisma dalam waktu yang sangat singkat.
***

.
.
.
.
.
.
.
Beberapa kali nangis pas nulis part ini. Inget masa-masa itu... ketika Mama melakukan hal itu saat aku hampir sekarat. 😭 Makasih Mama... makasih Ya Allah sudah menakdirkan aku menjadi anak dari kedua orangtua yang baik hati.

Semoga bab ini bisa bikin temen-temen pembaca semangat menjalani hidup dan menjadi lebih waspada dengan kesehatan.

Jangan lupa tinggalin vote sama komen, ya...

Asuhan Bidadari Idaman [End di Bestory]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang