Sudah lebih dari tiga minggu Cira berada di rumah sakit, tak terasa dua pekan ke depan masa dinas di puskesmas pun berakhir. Setelah peristiwa Kharimas menjilati tubuh putri bungsunya, keadaan semakin membaik. Cira jarang kambuh... hanya saja tiap sebelum tidur malam kepalanya harus selalu dibelai. Jika hal tersebut tidak dilakukan, rasa perih yang melekat itu akan menganggu tidurnya.
Berkat semangat Cira yang terus berjuang melawan sakit, dukungan, serta doa orang terdekat, hari ini Allah menggerakkan hati dokter Santika untuk mengizinkan gadis pengidap meningitis itu dirawat di rumah. Hal itu tentu saja atas pertimbangan matang dan pemantauan perkembangan kondisi Cira yang terus membaik.
Di tengah kesibukan Kharisma dan anggota keluarga lain yang sedang membereskan perlengkapan untuk dibawa pulang, suster Tini memasuki ruangan membawa baki berisi bengkok dan alat-alat lain.
"Infusnya dilepas dulu, ya, Teh," ujar suster Tini seraya mematikan tetesan infus.
Cira hanya mengangguk sambil menyaksikan perawat di hadapannya mulai melakukan tindakan.
"Tarik napasnya, ya," ujar suster Tini seraya melepaskan jarum dan selang infus yang melekat di tangan pasiennya.
Sebelum meninggalkan ruangan, perawat itu mengingatkan Kharisma dan Abisatya untuk melakukan kontrol kesehatan seusai jadwal. Wanita itu juga meminta Cira untuk meminum obat dengan rutin, tidak boleh ada yang terlewat.
Sampai di rumah, semua keluarga menyambut kepulangan Cira dengan bahagia. Walau belum sepenuhnya sembuh, tetapi mereka bersyukur bisa melihat gadis itu kembali ke rumah.
Setelah tetangga dan kerabat dekat pulang, rumah kembali sepi. Hanya ada Cira yang sedang berbaring seraya salat magrib dan Kharisma sibuk menyiapkan makan untuk anaknya.
Usai salat Kharisma meminta sang putri untuk makan, tetapi ia mendapati Cira terlihat gelisah.
"Kenapa nangis?" tanya Kharisma.
"Nggak tahu, Ma, aku deg-degan." Air mata gadis itu terus mengalir akibat rasa takut yang menyelimuti dirinya.
Kharisma mendekat dan ikut berbaring di samping Cira. Wanita itu memeluk anak bungsunya yang berumur 19 tahun dengan erat.
"Kenapa bisa gitu? Mau dipijitin atau dibelai?" Kharisma menawarkan segala hal untuk membuat anaknya merasa nyaman. "Diem... jangan nangis."
Kharisma membelai dada Cira untuk mengurangi rasa tegang pada anaknya.
"Kamu kenapa? Mikirin apa?" tanya Kharisma.
"Nggak tahu tiba-tiba deg-degan gitu aja. Takut... kalau Cira mati gimana?" Tangisan gadis itu semakin pecah.
Mendengar pertanyaan tersebut membuat Kharisma resah dan gelisah.
"Jangan ngomong gitu, kamu pasti sembuh. Boleh pulang sama dokter itu artinya udah sembuh. Cira lapar? Mau beli apa? Sok, nanti dibeliin sama Papa. Mau kebab?"
Cira menggeleng.
"Burger?" tanya Kharisma.
Respon anaknya tetap sama. Tidak menginginkan apa pun.
"Pizza?" katanya seraya menyebutkan semua makanan kesukaan Cira yang biasa dipesan saat di rumah sakit ataupun ketika pergi ke restoran.
Abisatya dan Kinasih yang baru datang mendapati Cira sedang menghapus air mata dan berada di pelukan Kharisma.
"Cira kenapa, Ma?" tanya Kinasih panik.
Kharisma menjelaskan bahwa jantung anaknya berdebar kencang dan merasa gelisah.
Abisatya pun duduk di samping tempat anak dan istrinya berbaring.
"Sekarang minum obat dulu aja, ya," ucap Kharisma seraya mengambilkan obat. "Mama nggak ngerti ini... apa aja yang harus diminum. Kamu, kan, ngerti, sok, baca sendiri aja."
KAMU SEDANG MEMBACA
Asuhan Bidadari Idaman [End di Bestory]
Fiction généraleTenaga medis merupakan salah satu pekerjaan mulia dan sangat dibutuhkan kebanyakan orang. Tak sedikit pula di antara penerus bangsa yang bercita-cita menjadi petugas kesehatan, salah satunya Ciralva Aizyah, gadis asal Bandung yang berharap bisa berp...