Jam dua siang waktunya perawat berganti sif dari yang lagi ke siang. Beberapa di antara petugas kesehatan berseragam putih itu menatap gadis berjilbab besar yang sedang berbaring di atas ranjang."Ini Cira?" Suster Tini memastikan.
Gadis itu hanya tersenyum seraya menutupi mulutnya karena malu.
Perawat yang dinas pagi mengiakan pertanyaan tersebut.
"Aduh, balik lagi ke sini kangen sama dokter Santika, ya?" goda suster Tini.
Petugas lain yang tidak mengenali Cira pun bersuara.
*Siapa itu?"
"Cira ini pasiennya dokter Santika. Dia udah dua kali dirawat, tiga kali sama sekarang."
Perawat perempuan yang dinas pagi angkat bicara. "Ini Nona Cira, pasien dokter Santika dengan keluhan sakit kepala hebat."
Gerombolan petugas kesehatan itu keluar dari ruang Pratama C yang menjadi tempat rawat inap putri bungsu Abisatya.
Kharisma menatap Cira. "Udah, ya... jangan dirawat-rawat lagi. Semoga ini yang terkahir."
Cira hanya menjawab amin. Pasalnya gadis itu juga tidak meminta dirawat. Namun, memiliki orangtua yang punya tingkat kekhwatiran sangat tinggi pun adalah sebuah keberuntungan. Setiap kali keadaan sang putri menurun, Abisatya pasti langsung meminta istrinya agar sang putri dirawat. Mengingat penyakit yang diderita Cira bukan gangguan kesehatan biasa, maka mereka selalu siaga.
Setelah dirawat akhir September lalu, Abisatya mengikuti saran Abas agar Cira mengonsumsi obat herbal. Tiap satu atau dua minggu sekali ia membawa putrinya ke rumah tabib untuk mendapatkan ramuan dari tumbuh-tumbuhan berkualitas. Katanya minuman itu untuk meningkatan daya tahan tubuh agar bisa cepat pulih dan otaknya terbebas dari bakteri.
Selain itu, Cira juga melakukan riset ke beberapa jurnal serta artikel tentang pengobatan meningitis menggunakan obat herbal. Akhirnya ia meminta Bidam untuk mencarikan obat-obatan bermerek yang direkomendasikan bacaan tersebut. Meski tinggal berjauhan, pemuda itu kerap mengunjungi gadis yang disukainya. Ia akan siap siaga jika Cira atau keluarga lain meminta bantuan.
Setelah seminggu berada di rumah sakit, Cira dibolehkan pulang oleh dokter Santika. Seperti biasanya, jangan sampai gadis itu melewatkan kontrol kesehatan setiap minggunya di Rumah Sakit Denkesyah.
Selain kedua orangtua, Kinasih-lah yang selalu menjaga Cira di rumah sakit. Perempuan itu harus bolak-balik kantor dan rumah sakit demi menjaga sang adik. Belum lagi jika malam-malam Cira butuh makanan yang aneh-aneh, ia akan siap siaga menyetir mobil bergantian dengan Abisatya untuk mencari sampai ketemu.
Sayangnya, hari ini Kinasih tidak bisa menjemput sang adik di rumah sakit. Ia juga izin tidak masuk kantor karena tidak enak badan. Ya, wajar saja jika hal itu terjadi. Tenaga perempuan itu selalu diforsir. Bukan hanya tubuh, otaknya pun pasti kelelahan.
"Nanti yang nyetir siapa?" tanya Cira.
"Papa, aja." Kharisma menjawab seraya membereskan barang-barang yang akan dibawa pulang.
***Lima hari setelah kepulangan Cira, kesehatan Kinasih semakin memburuk. Semua keluarga memaklumi itu. Selama ini perempuan itu menyetir mobil tak kenal waktu. Demi memenuhi keinginan sang adik, ia tak peduli siang ataupun malam. Hal tersebut pun selalu dilakukannya meski Cira di rumah, bukan sedang dirawat.
Minggu ke tiga di bulan Desember ini, Kinasih dirawat. Cira menyaksikan Abisatya mengangkat tubuh anak sulungnya yang tak ringan. Melihat hal tersebut, Cira pun menangis. Gadis itu tak kuasa melihat penderitaan sang ayah sejak dirinya divonis radang selaput otak. Bahkan kakaknya pun harus kena imbas karena terlalu lelah ikut mengurus dirinya. Cira berharap semoga Allah memberikan surga untuk papanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Asuhan Bidadari Idaman [End di Bestory]
Fiksi UmumTenaga medis merupakan salah satu pekerjaan mulia dan sangat dibutuhkan kebanyakan orang. Tak sedikit pula di antara penerus bangsa yang bercita-cita menjadi petugas kesehatan, salah satunya Ciralva Aizyah, gadis asal Bandung yang berharap bisa berp...