Minggu ke empat, Cira ditemani Bidan Wiwin merujuk pasien yang hendak lahiran ke Puskesmas Cisalak. Medan yang rusak parah membuat perjalanan mereka terganggu. Jarak yang harusnya bisa ditempuh15 menit menuju pusat kecamatan, justru memakan waktu nyaris dua jam.Pertama kali memasuki jalan menuju desa Capunagara ini Cira sempat terkejut. Pasalnya ia sudah harus melalui kontur jalanan rusak dan menanjak. Sekarang, karena bidan muda bersama rombongan itu berangkat dari kampung Bukanagara, maka sebaliknya. Mereka melalui banyak turunan di atas jalan bebatuan. Tapi rasa khawatir mahasiswi kebidanan itu berkurang karena disuguhi pemandangan yang eksotis.
Sejak ikut merujuk dan berkunjung ke kediaman pasien, Cira lebih dikenal warga. Masyarakat setempat pun sangat senang dilayani oleh gadis asal Bandung tersebut. Selain ramah, ia juga mudah bergaul. Wajar bila hal itu terjadi, karena Cira sudah berpengalaman dalam bersosialisasi.
Sabtu malam ini Bidan Wiwin ada tugas di luar kota bersama para bidan selama dua hari. Rumah yang biasanya dihuni oleh sang bidan, suami, anak dan asisten rumah tangga. Kini hanya tinggal sang anak, Mimin dan Cira, mahasiswi kebidanan yang sedang magang saja. Ayah Mimin mengantar istrinya, sedangkan pembantunya sedang izin sakit.
Sudah satu jam kampung Bukanagara diguyur hujan. Bukan hanya air langit yang turun, guntur dan petir pun saling bertautan. Hal itu membuat anak pemilik rumah ketakutan. Mimin pergi ke kamar Cira.
"Teh... tidur di kamar aku aja, yuk," ajak gadis itu.
Mahasiswi itu melempar senyuman. "Kenapa? Teteh lagi nulis SOAP."
"Mimin bantuin, deh... hujan besar, Teh... Mimin rada takut."
Cira pun membereskan buku-buku tugas yang sedang dikerjakan. Ia mengangkat dan membawa ke kamar Mimin. Sambil berjalan, gadis itu bersuara.
"Kalau hujan, terus siapa yang temani kamu, Dek?"
"Kalau ada ibu atau ayah berani, Teh."
Dua gadis itu mulai menulis tugas kebidanan berisi laporan pasien-pasien yang pernah datang dan ditemui selama praktik di tempat tersebut. Mimin sudah paham apa yang harus dikerjakan, ia beberapa kali melihat Cira melakukan hal yang sama.
Beberapa saat kemudian, suara bel rumah mulai terdengar.
"Itu Bu Wiwin, bukan, ya?" tanya Cira.
Mimin mengerutkan kening. "Kayaknya bukan, Teh. Katanya Ibu pulang malam Senin."
Cira mengangguk, pasalnya ia juga tahu bahwa pembimbing lapangannya itu pulag di hari Minggu malam. Lalu, siapa yang bertamu di saat hujan selebat ini?
"Kalau kamu gak berani, kita buka pintu bareng-bareng aja. Teteh juga sebenarnya takut." Gadis itu menampakkan giginya.
Cira bersama Mimin pun langsung menuju ruang tamu dan membuka papan pembatas penutup rumah. Saat pintu terbuka, terlihat seorang pria dewasa dengan baju setengah basah berdiri kedinginan.
"Assalamu'alaikum, Neng... Bu Dokter ada?" tanya pria yang bertamu.
"Ibu gak ada, Pak... lagi tugas di luar kota. Pulangnya besok malam." Mimin menjelaskan.
Pria itu refleks menarik rambutnya. "Astaghfirullah, tolong istri saya."
Cira menatap pria di depannya lekat-lekat. Gadis itu merasa tak asing.
"Maaf, Bapak ini suaminya Bu Ai, ya?"
"Iya, Neng... bener. Istri saya mau melahirkan, Neng. Tolongin... Eneng, kan, Bidan."
Cira menarik napas berat. Gadis itu seketika pusing dan kepalanya sakit memikirkan nasib sang pasien.
"Kemarin udah ke puskesmas belum, Pak?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Asuhan Bidadari Idaman [End di Bestory]
Narrativa generaleTenaga medis merupakan salah satu pekerjaan mulia dan sangat dibutuhkan kebanyakan orang. Tak sedikit pula di antara penerus bangsa yang bercita-cita menjadi petugas kesehatan, salah satunya Ciralva Aizyah, gadis asal Bandung yang berharap bisa berp...