Roda brankar berwarna biru itu menggelinding dengan cepat. Seorang perawat mendorong usungan menuju kamar inap. Pagi itu Cira dibawa ke ruangan Pratama. Jendela yang terletak tepat di tempat tidur pasien itu menambah penerangan alami di ruangan tersebut.
Sesaat setelah perawat berlalu meninggalkan ruangan, Abisatya memastikan Cira dalam keadaan baik-baik saja.
"Papa sama Mang Engkos mau salat subuh dulu. Kalian mau sarapan apa?" tanya Abisatya
"Aku ngantuk banget, Pa," ujar Cira.
"Aku juga ngantuk, sih, Pa.", Kinasih sependapat. "Tapi nggak apa-apa, Kinas mau nasi kuning aja. Kalau Papa balik ke sini lihat aku udah tidur, bangunin aja."
"Ya udah Cira istirahat dulu aja. Tapi nanti mau sarapan apa?"
Cira meminta ayahnya untuk tidak perlu membeli sarapan, karena beberapa menit ke depan pasti akan ada petugas yang membagikan makan pagi untuk para pasien.
Sejurus setelah Abisatya menghilang dari hadapan kedua anaknya, Cira dan Kinasih pun tertidur. Pasalnya, sejak malam tadi mereka belum istirahat. Apa lagi Kinasih, perempuan itu beberapa kali menggantikan Engkos untuk menyetir mobil.
Saat itu, aku masuk ruangan dalam keadaan biasa saja. Namun, di ini sempat heran ketika disatukan dengan pasien Leukimia.
Setengah jam kemudian, getar di ponsel Kinasih membangunkan kedua bersaudara tersebut dari tidurnya. Mereka dikejutkan oleh nada dering telepon yang baru saja masuk.
"Mama telepon," ucap Kinasih memberi jawaban pada Adiknya yang tidak bertanya.
Cira pun siap menguping pembicaraan ibu dan kakaknya.
"Assalamu'alaikum, Ma," ucap Kinasih.
"Wa'alaikumussalam... Cira gimana, Kin? Sekarang di rumah sakit mana jadinya? Kenapa nggak ngabar-ngabarin Mama?"
Cira bisa mendengar dengan jelas bagaimana suara Kharisma yang amat khawatir.
"Maaf, ya, Ma... Kinas sibuk ngurus di bagian administrasi sama Mang Engkos. Cira jadinya dirawat di Rumah Sakit Denkesyah Kota Bandung."
"Cira sakit apa?"
"Sebenarnya dari hasil pemeriksaan laboratorium di IGD dua rumah sakit semuanya normal. Cira nggak kenapa-napa. Mama nggak usah khawatir. Ini anaknya lagi senyum-senyum di samping aku."
Hal yang membuat Cira tersenyum adalah ketika mengetahui bahwa Kharisma sangat menghawatirkan dirinya. Gadis itu merasa terharu dan bahagia.
"Ya udah, bilang papamu suruh pulang sekarang jemput Mama. Nanti kalau Mama ke sana mau dibawain apa?"
"Baju ganti aja, mungkin sama perlengkapan Cira, Ma. Kalau Kinas, kan, nanti bisa pulang sendiri."
Usai menerima telepon dari Kharisma, Abisatya bersama Engkos masuk ke ruangan. Mereka memilih pulang untuk mengambil perlengkapan Cira. Sejurus kemudian, kedua kakak beradik itu kembali terlelap.
Tiga jam berlalu, Cira merasakan ada seseorang telah mengguncang tubuhnya. Gadis itu perlahan membuka kedua matanya yang teramat lengket. Setelah berhasil, ia melihat seorang pemuda berparas tampan. Kulitnya putih, bersih, rambutnya tertata dengan rapi dengan aroma tubuh begitu semerbak memenuhi hidung Cira.
Kedua bulat hitam mahasiswi kebidanan yang semula sangat lengket itu, tiba-tiba terbuka lebar seraya menatap wajah lelaki tersebut.
"Maaf, ya, mau diperiksa dulu." Lelaki yang memakai kemeja batik warna cokelat di hadapan Cira itu adalah dokter muda.
KAMU SEDANG MEMBACA
Asuhan Bidadari Idaman [End di Bestory]
Ficción GeneralTenaga medis merupakan salah satu pekerjaan mulia dan sangat dibutuhkan kebanyakan orang. Tak sedikit pula di antara penerus bangsa yang bercita-cita menjadi petugas kesehatan, salah satunya Ciralva Aizyah, gadis asal Bandung yang berharap bisa berp...