Kegiatan membaca Vey terganggu kala rungunya mendengar suara pintu apartemen terbuka. Kakaknya pasti lagi-lagi baru datang setelah larut malam seperti ini. Ia beranjak keluar kamar dan mendapati Vio tengah melepaskan sepatu lalu menaruhnya pada rak di belakang pintu.
"Kak Vio habis dari mana lagi sampai pulang jam segini?" tanyanya penasaran.
Vio melangkah lunglai seraya duduk di sofa dan langsung menyandarkan tubuh di sana. Matanya beberapa kali terpejam seolah tampak menghilangkan lelah. "Vey, kakakmu ini baru datang bekerja. Bukannya membuat minuman atau apa, kau malah memberiku pertanyaan tidak penting."
Gadis berkacamata yang sedari tadi hanya berdiri di pinggir sofa kini mendudukkan bokongnya. Ia memang tidak begitu berani mencampuri urusan sang kakak, tetapi kekhawatiran selalu saja menerpa saat Vio pulang terlambat seperti sekarang.
"Bukannya jam pulang kerjamu pukul sembilan? Ini sudah jam sebelas lebih, Kak." Vey mencoba mencari kebenaran. Pasalnya Vio sering sekali pulang larut malam hanya dengan alasan lembur, kali ini pun pasti dia akan beralasan sama. Namun, Vey berpikir, apakah kantor kakaknya itu memang selalu memberi jatah lembur di setiap harinya? Dia merasa itu tidaklah benar, peraturan setiap kantor pun pasti tidak jauh berbeda, tambahan jam kerja paling hanya satu dua hari dalam seminggu.
"Seperti biasa, aku lembur. Kau jangan berpikir macam-macam, aku terus pulang larut juga karena mencari uang untuk kelangsungan hidup kita."
Gadis berpiyama dengan motif bunga di dekatnya hanya bergeming. Mereka memang hanya hidup berdua sejak remaja, kedua orang tuanya sudah berpisah dan tiga tahun lalu sang ibu meninggal dunia. Pun dengan kabar ayahnya yang entah ada di mana. Dengan begitu, Vey selalu saja mencemaskan sang kakak, ia tidak mau hal buruk terjadi padanya. Seperti sekarang, hati Vey tetap merasa was-was, benaknya mengira Vio tengah menyembunyikan sesuatu.
Lamunan gadis itu buyar saat dering ponsel terdengar nyaring dari kamar. Vey langsung melenggang dan meraih benda metalik canggih itu.
"Dengan Nona Vey Avrodyta?" tanya seseorang di seberang telepon.
"Iya, benar. Ini siapa?"
"Kami dari pihak rumah sakit. Ingin mengabari bahwa pasien bernama Gav dinyatakan hilang sejak satu jam lalu. Kami harap Anda bisa secepatnya kemari."
Netra Vey membola, napasnya seketika tak beraturan. "Baik, saya ke sana sekarang."
"Astaga, ada apa lagi dengan pria itu?" Vey memijat pelipis pelan, ia sedikit menyesal karena telah meninggalkan nomor ponselnya untuk pendataan di rumah sakit. Seharusnya tadi sore ia menanyakan perihal keluarga Gav dan segera menghubungi mereka. Namun, semuanya sudah terlanjur.
Sweater merah maroon ia raih dari kastok baju di dinding kamar, Vey memakainya dan menutupi piyama yang melekat di tubuh langsing itu. Dia langsung keluar dengan terburu-buru sampai tidak berpamitan pada Vio.
Netra yang hendak terpejam kembali terbuka, wanita yang baru saja berbaring di kasur itu tampak mengernyit. "Tidak biasanya Vey pergi malam-malam begini," gumam Vio curiga.
🐚🐚🐚
"Gav, lebih baik sekarang kita kembali ke rumah sakit. Kau sudah pergi terlalu lama dari sana. Nanti semua orang bisa curiga."
Kucing bermulut kecil itu bergumam, membuat Gav menghentikan langkah tepat di sisi lampu temaram di trotoar. "Aku tidak suka dengan tempat itu, Mitc. Baunya tidak enak. Lebih baik menghirup udara segar di sini."
"Tapi kau tidak bisa pergi seenaknya dari sana. Ada peraturan khusus jika kau ingin keluar dari rumah sakit."
Pemuda berkumis tipis itu mendelik. "Sepertinya kau tahu banyak tentang Klan Permukaan. Apa kau pernah ke sini sebelumnya?"
Mitc bergeming, kepalanya bergulir seolah tak mau menjawab pertanyaan Gav. "Um ... tentu saja tidak. Xio banyak bercerita padaku perihal Klan Permukaan. Dari sanalah aku tahu."
Pria yang tengah menyenderkan kepala pada tiang lampu itu melipat kedua tangan. Dirinya benar-benar merasa bosan. Untung saja tadi ia sempat beristirahat di tempat sepi dengan melelapkan mata sejenak. Tentunya Mitc yang mengawasi, agar tidak ada orang yang melihat Gav saat berubah menjadi wujud aslinya, Ras Zygal.
Pikiran Gav seketika teringat dengan sosok gadis yang tadi sore menolongnya. Senyuman penuh ketulusan dari gadis berkacamata itu tidak bisa lepas dari memori Gav, entah kenapa memikirkannya saja membuat pemuda itu tersenyum penuh harap. Ya, dia ingin bertemu lagi dengan Vey. Alasannya keluar rumah sakit sekarang pun karena dia berniat mencari gadis itu. Namun, nihil. Gav hanya bisa menyusuri jalan tanpa arah. Tatapan aneh dari orang-orang pun tak luput hadir mengamati pemuda itu karena pakaian rumah sakit dan keadaan tubuhnya yang tampak berbeda.
Embusan napas berat lolos dari bangir Gav, kebingungan mulai datang. Dia juga tidak tahu harus pergi ke mana. Kembali ke rumah sakit pilihan yang buruk baginya. Tak lama, lamunan pemuda itu terganggu kala cahaya lampu mobil menyorot. Tangan kekar Gav sontak menutup sebagian wajah karena silau. Mobil bertulisakan taksi di atasnya itu berhenti tepat di hadapan Gav, membuat pria tersebut mengernyit heran.
Sosok gadis dengan sendal beludru seketika turun dari taksi. Tungkainya berlari kecil menghampiri Gav di pinggir jalan. "Kau sedang apa di sini? Aku mencarimu dari tadi," sambar Vey sembari mengatur napas.
Akhirnya aku menemukanmu.
Pemuda itu malah bergeming dengan tak berkedip memandang wajah cantik di hadapannya. Membuat Vey membuang muka kesal dan mengembusakan napas berat. "Sekarang kita kembali ke rumah sakit. Keadaanmu belum pulih."
Sontak Gav mengerjap, kepalanya menggeleng pelan. "Tidak, aku sudah baik-baik saja. Aku tidak mau ke sana lagi."
"Baik-baik saja apanya? Lukamu baru diobati tadi sore, mana mungkin bisa pulih secepat itu."
Tangan kanan Gav seketika bergerak membuka perban pada salah satu luka di lengan kirinya. Menampilkan goresan luka bakar yang sudah mengering. "Lihat, lukaku bahkan sudah kering. Dan pastinya tidak terasa perih lagi," jelasnya.
Kedua alis Vey menekuk, lagi-lagi keanehan menyelimutinya. Secepat itu dia sembuh?
Namun, gadis itu tak ingin berlama-lama larut memikirkan kejanggalan tersebut. Ia tetap ngotot untuk membawa pria di hadapannya kembali ke rumah sakit. Kejelasan harus ia dapatkan dari sana. "Baik, aku percaya kau sudah sembuh. Tapi tetap saja, kau harus kembali ke rumah sakit untuk melakukan pemeriksaan akhir. Baru setelah itu, terserah kau mau pergi ke mana pun."
Netra Gav bergulir melirik Mitc yang bersimpuh di samping kakinya.
Meong ....
Kucing manis itu bersuara, Gav tahu Mitc akan sependapat dengan Vey. Dua lawan satu, pemuda itu akhirnya mengaku kalah. "Ya sudah, aku akan ikuti kemauanmu."
"Gav, dia begitu peduli padamu."
Mitc kembali berujar membuat Gav terkekeh. "Itu bagus," timpalnya.
"Hah? Kau bicara apa?" Langkah Vey yang hendak terayun memasuki taksi seketika terhenti dan menoleh pada Gav di belakangnya.
"Ah tidak, aku tidak bicara apa-apa."
🐚🐚🐚
Ada yang sebaik Vey gak di sini:v
KAMU SEDANG MEMBACA
EVIGHED
FantasyKehidupan sosok pemuda keturunan Ras Zygal dari Klan Bawah Tanah berubah total saat dirinya tak sengaja melakukan aksi pembunuhan dan berakhir dengan ia mendapat kutukan. Sebut saja dia Gav Varatha, pria yang malah tersenyum senang saat dirinya bena...