- XVIII -

33 8 66
                                    

"Kau baik-baik saja?"

Pria yang menghampiri Vey dengan setengah berlari itu langsung melontarkan pertanyaan tersebut. Terdengar dari nadanya dia begitu panik dan khawatir. Membuat dua wanita di hadapannya saling memandang tidak mengerti.

Vey sejenak melirik Editor Chang, sang atasan mengerti dengan tatapan Vey barusan. Dia pun memasuki mobil terlebih dulu, membiarkan bawahannya itu menyelesaikan urusannya dengan pria yang tiba-tiba datang tersebut.

Bukannya menjawab pertanyaan pria di depannya, gadis itu malah menggigit bibir bawah ragu. Embusan napas seketika hadir demi menetralkan dirinya sendiri. "Bagaimana kau tahu kalau aku ada di sini?" tanya Vey.

Gav bergeming, ia tidak mungkin menceritakan bahwa semua ini karena indra penciuman Mitc yang berhasil menemukan Vey. Seketika benak pemuda itu teringat pada Vio. Namun, saat dirinya hendak berucap,  tiba-tiba tubuhnya merasakan sesuatu yang janggal. Persis seperti malam itu di kala rasa sakit yang tidak bisa ditahan menyerang dirinya.

Gav menguatkan rahang, ia tidak boleh menunjukkan kalau dirinya tidak sedang baik-baik saja. "Aku ... tahu dari kakakmu. Bukannya tadi kau menelepon dia dan meminta tolong? Dari sana aku langsung pergi mencarimu," jawab Gav.

Vey manutkan kedua alisnya. "Dari mana kau mengenal kakakku? Dan berarti tadi kau habis bersamanya?" Entah kenapa nada bicara gadis itu sedikit berbeda.

Gav mengangguk pelan, rasa sakit yang kian bertambah membuat tubuh pemuda itu semakin tidak karuan. Tanpa sepengetahuan Vey, tangan Gav terkepal demi menahan sakit yang menjalar. "Ya begitulah," timpal Gav dengan raut gelisah.

Sementara Mitc yang berada di samping pria tersebut, terus bersuara agar dirinya segera pergi dari sana. Akan tetapi, jelas Gav tidak menggubris. Pertemuan dengan Vey begitu penting baginya.

Bola mata Vey bergulir sejenak. Ia baru tahu ternyata Gav adalah teman kakaknya sendiri.

Jadi dia lebih dulu mengenal kakakku, batin Vey. Entah kenapa suasana hatinya tiba-tiba berubah menjadi tidak baik.

Untuk sesaat Vey sibuk bergulat dengan pikirannya. Ia tidak menyadari keadaan Gav yang terus berusaha menahan rasa yang amat membuat tubuhnya menderita. Gejolak aneh seolah tengah mengguncang perut pria tersebut. Gav sampai menahan mual agar Vey tidak mencurigainya. Namun, tetap saja rasa gatal pada tubuhnya tak bisa ia tahan. Sontak tangan Gav bergerak menggaruki setiap inci kulitnya yang terasa gatal.

Seketika gadis di dekatnya mengernyit. "Kau kenapa?"

"Ah, aku tidak apa-apa. Seharusnya aku yang bertanya begitu. Kau kenapa sampai tadi menelepon Vio dan meminta tolong?" Gav berusaha mengalihkan pembicaraan dengan cepat. Tentunya tangan pemuda itu masih bergerak tanpa malu menggaruki tubuhnya.

Vey terdiam, dia tampak berpikir. Tidak mungkin juga ia menceritakan semua masalahnya pada pemuda yang baru beberapa hari ia kenal. Akan tetapi, hati kecil Vey mengatakan hal berbeda. Gav sampai rela mencari dirinya seperti ini. Dengan begitu, Vey tidak akan tega jika harus membiarkan usaha pemuda itu sia-sia. Setidaknya dia berhak tahu kemungkinan kecil masalah yang dialami Vey. Entah Vey yang memang mudah memercayai orang lain sehingga melakukan tindakan tersebut. Atau mungkin, memang seonggok rasa telah hadir dalam dirinya sehingga ia memberi kepercayaan pada Gav semudah itu.

"S-sebenarnya ... tadi aku —"

"Akhhh!"

Jeritan pemuda di hadapannya membuat penjelasan Vey terpotong. Gav benar-benar sudah tidak bisa menahan sakit yang luar biasa di tubuhnya itu. Ia meringis dengan mata terpejam, tubuh Gav bergetar karena rasa perih yang begitu hebat, seolah benda tajam tengah menyayat kulit sang empu.

Kini kedua penumpu pria itu tak mampu menahan beban di tubuhnya. Ya, Gav ambruk sembari meremas rambut disertai pukulan kecil yang ia lakukan sendiri pada kepalanya. Belum juga rasa sakit yang lain sirna, sekarang rasa pusing tiba-tiba datang menghantam.

Sontak Vey memundurkan langkah menyaksikan gelagat aneh dari Gav. Ia menggigit kuku pada jari telunjuknya dengan gusar. "A-ada apa denganmu, Gav? Kau baik-baik saja?" tanya Vey terbata-bata.

Tak ada jawaban, hanya suara kucing putih yang mengeong keras di sana. Embusan napas berat Gav sampai terdengar jelas oleh rungu Vey, dia tampak begitu lelah seolah habis berlari kencang. Seketika pemuda itu berusaha bangkit dan menatap Vey lekat. "Aku lega kalau kau baik-baik saja," ucapnya terengah-engah.

Tanpa menunggu tanggapan sang lawan bicara, Gav langsung mengambil langkah seribu menjauh dari gadis itu. Ia tidak mungkin berubah wujud di depan pujaan hatinya. Gav terus berlari tanpa arah, tubuhnya tak henti-henti menggelinjang dengan tatapan tajam. Lehernya bergerak ke sana kemari seolah sedang memastikan sesuatu. Ia masih berlari dengan tak memedulikan tatapan orang-orang yang dia lewati. Hingga akhirnya langkah pemuda itu berhenti di belakang sebuah gedung besar.

Erangan terus Gav lontarkan di sana. Bersamaan dengan itu, sedikit demi sedikit kulit mulus Gav mengelupas dengan sendirinya. Tangannya mencakar dinding gedung dengan kuat, sampai goresan cakaran tercetak jelas pada tembok tersebut. Jeritan lagi-lagi lolos dari birai Gav, hingga pada akhirnya sesosok wujud mengerikan hadir menggantikan sosok tampan tersebut. Ya, Gav sudah berubah menjadi makhluk yang entah apa namanya.

Melihat makhluk itu, Mitc yang berada di dekatnya langsung melompat ke semak-semak karena terlalu takut. Akan tetapi, jauh di dalam hatinya, ia sungguh kasihan pada sang majikan dan berharap bisa membantu. Tak terasa, sebulir cairan luruh dari mata bulat kucing tersebut. Fase transformasi dari kutukan itu membuat Gav begitu menderita.

Di sisi lain, Vey masih bergeming. Otaknya melanglangbuana memikirkan keadaan Gav, sangat jelas bahwa tadi pria itu menunjukan gelagat yang tidak baik-baik saja. Dada gadis itu pasang surut, ia takut Gav seperti itu karena dirinya.

Apa mungkin ... terjadi sesuatu padanya saat di perjalanan mencariku?

"Vey!" Editor Chang berseru dari dalam mobil dengan sedikit menyembulkan kepalanya. "Ayo, masuk. Lagipula pria itu sudah pergi."

Vey mengangguk dan segera memasuki mobil. Namun, tak bisa dibohongi kalau sekarang hatinya terus mencemaskan pria itu.

Kuharap kau baik-baik saja.

Mobil mereka melaju dengan kecepatan standar. Vey hanya menyandarkan kepala pada kursi mobil dengan lesu. Sementara Editor Chang sibuk menyetir, ia membiarkan bawahannya itu untuk beristirahat. Karena secara tidak langsung, dirinyalah yang telah membawa Vey masuk dalam lingkaran masalah ini.

Seketika kedua netra Vey terkesiap saat melewati seseorang yang baru saja turun dari mobil mewah tepat di depan sebuah hotel. "Kak Vio?" kejutnya. Kepala Vey masih berputar berusaha untuk memastikan.

Editor Chang bertanya, "Ada apa Vey?"

"Tidak, Editor."

Benak gadis itu langsung memikirkan sesuatu dengan perasaan tak karuan. Ia yakin penglihatannya tidak mungkin salah. Seharusnya di jam setengah sembilan ini sang kakak masih di kantor. Bahkan, Vio biasanya bekerja sampai larut malam karena lembur. Akan tetapi, hal yang baru saja Vey saksikan, membuat gadis itu berpikir dua kali terhadap alasan lembur yang sering kakaknya lontarkan.

Sedang apa Kak Vio di sana? Dan ... siapa pria yang bersamanya itu?

EVIGHEDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang