- VI -

61 16 145
                                    

Cleveland, Ohio, AS.
02.45 PM.

"Terima kasih, Pak, atas waktunya." Seorang gadis berjas kulit mengakhiri sesi wawancaranya dengan salah satu kaki tangan dari perusahaan bidang pertambangan.

"Sama-sama. Kalau begitu saya permisi dulu."

Pria tersebut melenggang setelah merapikan jas. Sementara gadis yang berprofesi sebagai seorang reporter itu mengembuskan napas lega. "Akhirnya ...."

"Sepertinya berita hari ini akan jadi topik trending lagi, Vey." Pria yang membawa kamera di hadapannya merekahkan senyuman.

"Pastinya. Karena kantor kita berhasil menembus salah satu bagian pengurus dari masalah penutupan pertambangan ilegal ini. Dan kantor kita juga yang akan meluncurkan berita pertamanya."

"Hebat. Kau lagi-lagi membuat nama kantor kita bangga." Liam bertepuk tangan sejenak sebagai penghargaan.

"Ah, biasa saja. Itu juga berkat bantuanmu sebagai mitraku, Li." Vey menepuk bahu Liam singkat. Mereka memang patner kerja yang kompak.

Pemuda itu sekilas melirik arloji di tangannya, lalu berujar seraya membereskan kamera dan keperluan lain yang digunakan saat melakukan rekaman. "Hari hampir sore, sepertinya kita harus kembali ke kantor."

Vey mengangguk, ia menggulung kabel mikrofon di tangannya. Tepat saat langkah keduanya terayun, tiba-tiba suara ledakan samar-samar menyapa rungu gadis itu. "Tunggu, apa kau mendengar sesuatu, Li?" Liam mengernyit, kepalanya menggeleng sembari mengendikkan bahu. "Kau yakin tidak mendengarnya? Semacam ... bunyi ledakan, tapi hanya sesaat," lanjut Vey memastikan.

"Tidak, mungkin kau salah dengar. Sudahlah, aku lelah, dan kau jangan memikirkan hal yang tidak pasti. Editor pasti sudah menunggu, kita harus cepat. Orang-orang di sini juga sudah pada pergi."

Gadis berkacamata itu bergeming sejenak, ia yakin pendengarannya tidak bermasalah. Jelas-jelas tadi terdengar bunyi ledakan seperti ban mobil yang pecah walaupun tidak terlalu jelas. "Kau duluan saja. Aku ke toilet umum sebentar."

"Jangan lama-lama."

Setelah punggung Liam tampak menjauh dan menghilang di balik belokan, Vey langsung mengedarkan pandangan. Ia terpaksa berbohong untuk mencari tahu perihal suara tadi. Tungkai berbalut celana jeans itu mulai melangkah menyusuri sekitar, ia menyelipkan anak rambut berharap suara tersebut datang dan dapat terdengar jelas oleh telinganya. Namun, hanya keheningan dari gundukan sisa penggalian yang ia dapatkan.

"Sepertinya aku memang salah dengar." Vey membenarkan tanggapan Liam. Gadis berambut panjang itu memilih kembali melanjutkan langkah menuju parkiran tempat Liam menunggunya.

"Sshhh ...."

Akan tetapi, suara ringisan seketika hadir membuat tungkai Vey sontak terhenti. Alisnya tertaut heran dengan pikiran negatif yang mulai datang. "S-siapa itu?" Ia menelan saliva, pacuan jantungnya semakin tak karuan. Dirinya yakin di sini sudah tidak ada orang.

"T-tolong ...."

Kali ini rungu gadis itu benar-benar menangkap suara tersebut dengan jelas. Vey langsung bergerak cepat mencari sumber suara barusan. Tepat saat dirinya mengecek lubang sisa penggalian, di sanalah sosok pria berambut gondrong tengah meringkuk dengan keadaan mengenaskan. Pakaiannya compang-camping disertai luka bakar yang menghiasi tubuh kekarnya.

EVIGHEDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang