Sebuah Janji

113 12 4
                                    

 

"Cinta itu bukti, bukan janji." Samudra.

**

Ada yang menyentuh kepalaku lalu menepuk pipiku perlahan. Dengan malas, aku membuka mata.  Ya Tuhan, aku tertidur. Segera kulepas tanganku yang memeluk lengan Mas Sam dengan gugup. Serius, kali ini aku malu sekali.

"Berapa lama aku tertidur, Mas?"

"Hanya sebentar, kok," dia berucap sambil memijit pundaknya, mematahkan kepalanya ke kanan dan ke kiri, sebentar. Mungkin pegal menopang tubuhku cukup lama.

Kutepok jidatku. Kacau! Kuperhatikan bahu Mas Sam, khawatir jika tadi aku sampai ngiler, bisa malu kuadrat diriku.

Bus berhenti di perempatan di depan pasar Turen. Mas Sam mengajakku turun. Aku mengekor di belakangnya. Aku melompat saat turun dari bus yang belum sepenuhnya berhenti.

"Hati-hati, Honey!" Aku menahan tawa melihat ekspresi khawatirnya. "Kamu, ya. Na-kal!" Aku tak bisa lagi menahan tawaku, dan aku tergelak. Dia mencubit hidungku dengan ekspresi gemas.

Kami berjalan beriringan. Sesekali aku menggelanyutkan tangan di lengannya. Dia hanya diam, membalas dengan usapan lembut di jemariku. Dadaku berdesir lembut, seperti ada yang hangat menjalar ke seluruh tubuhku. Buru-buru kulepaskan peganganku, saat getaran itu makin menguat. Sungguh jatuh cinta itu benar-benar aneh.

"Mau beli sesuatu? Sekali-kali bawain orang rumah apa, gitu?"

Aku menggeleng. "Nanti ditanyain macem-macem." 

"Jawab jujur saja, Hon. Kenapa sih, kamu terus menyembunyikan hubungan kita?"

Aku enggak tahu mesti jawab apa, pertanyaan Mas Sam. Aku juga enggak tahu mengapa aku begitu takut menghadapi kenyataan yang bisa jadi pahit. Aku benar-benar khawatir saat Bunda tahu dan kami terpaksa harus mengakhiri semuanya.

Mobil angkutan yang akan kami naiki masih kosong, mungkin butuh beberapa saat lagi, sampai ada penumpang lain, baru Pak Sopirnya mau jalan. Kumainkan pasir di trotoar di bawah kakiku. Saat aku menoleh, Mas Sam tak lagi di tempat semula. Kemana dia?

Selang sekitar lima menit, dia kembali dengan dua cup es krim di kedua tangannya. Diangsurkannya sebuah padaku. Segera kulahab dengan rakus. Dia menggeleng, mengeluarkan sapu tangan warna biru dari sakunya, menyeka sudut bibirku yang belepotan. Kemudian duduk di sebelahku.

Tampak beberapa orang lalu lalang di sepanjang jalan di depan kami. Suara kenek yang terus berteriak menyebut rute jurusannya, mengisi jeda di antara diamku. Satu per satu penumpang mulai berdatangan. Mereka mulai memenuhi mobil mikrolet. 

Tampak ibu-ibu yang mungkin berusia 60 tahunan berjalan tergopoh dari kejauhan. Dia tampak susah payah membawa keranjang besar dan satu tas besar di tangan lainnya. Mas Sam tanggap berdiri lalu membantunya. 

"Matur suwun, Le. Cah Bagus seng gathi. Tak dungakno oleh bojo ayu," ucap ibu itu, yang dijawab amin oleh Mas Sam. 

Aku tersenyum mendengar percakapan mereka.

"Kita pulang sekarang? Keburu gak ada tempat," ajak Mas Sam setelah memastikan ibu itu masuk ke dalam mobil dan penanganan diteruskan oleh Pak Kenek.

"Emang mau dapat istri cantik?"

"Kayak kamu? Ya maulah." Aku tersipu demi mendengar jawaban lelaki di sebelahku ini. Dasar gombal.

Aku mengikuti Mas Sam yang masuk ke dalam mobil. Dia harus ekstra menunduk karena tubuhnya yang jankung. Di dalam kami harus berdesakan dengan orang-orang yang menguarkan bau bermacam-macam. Sebenarnya aku malas seperti ini, tapi enggak ada pilihan lain.

Samudra Cinta Aninda--TelahTerbitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang