Kejutan

1.2K 106 18
                                    

Ada kalanya kita harus banyak mendengar, karena dengan mendengar, kita akan tahu kebenaran.

**

Ada yang menyentuh kepalaku, beberapa kali menepuknya. Dengan malas aku membuka mata.
'Ya Tuhan, aku tertidur.'
Segera kulepas tanganku yang memeluk lengan Mas Sam, gugup.
Serius, kali ini aku malu sekali.

"Berapa lama aku tertidur Mas?"

"Tak berapa lama." ucapnya sambil memijit pundak, mematahkan kepala ke kanan dan ke kiri.

Kutepok jidat 'kacau.' Kuperhatikan bahu Mas Sam diam-diam, khawatir kalau tadi sampai ngiler, bisa malu kuadrat.

Bus berhenti di sebuah sudut kota. Mas Sam mengajakku turun. Aku menurut saja, mengikuti langkahnya.
Melompat kecil di tangga bus.

"Hati-hati, Honey." Aku tergelak melihat ekspresi khawatir Mas Sam.

"Kita ke alun-alun kota Blitar." bisiknya.

Kota Blitar tidak secrowded kota Malang. Udaranya sejuk. Tidak ada angkot yang melintas langsung melewati alun-alun. Jika ingin ke  sana harus berjalan beberapa saat. Kami berjalan beriringan. Sesekali menggelanyutkan tangan di lengannya. Mas Sam hanya diam, membalas dengan usapan lembut di jemariku. Dadaku berdesir, bergejolak halus, seperti ada yang hangat menjalar ke seluruh tubuhku. Buru-buru kulepaskan peganganku, saat getaran itu makin menguat.

Sungguh jatuh cinta itu benar-benar aneh.

Ketika sampai di alun-alun, sedang ada expo--banyak tenda-tenda menjual berbagai barang:  aneka makanan, pakaian, aksesoris, hingga peralatan dapur. Mas Sam mengikuti langkah kecilku,  membiarkanku melihat apa pun yang kuinginkan. Puas berkeliling aku duduk di sebuah bangunan mirip green house di tengah alun-alun. Ada beberapa tanaman yang sedang berbunga. Sebuah kolam ikan dengan air mancur di tengahnya. Cukup menyejukan, mengurangi kepenatan di tengah panasnya kota Blitar.

Mas Sam tergopoh mendekat dengan dua cup es krim. Diangsurkan sebuah padaku. Segera kulahab dengan rakus. Dia menggeleng, mengeluarkan sapu tangan warna biru dari sakunya, menyeka sudut bibirku yang belepotan. Dengan santai, kemudian duduk di sebelahku.

"Mau jalan ke mana lagi?" tanyanya.

Aku menggeleng, "Di sini saja."

"Habis sholat kita pulang ya?" lanjutnya, dengan tatapan mata mengarah ke jalanan yang makin ramai.

Dia menoleh padaku, matanya menatapku teduh, sepertinya dia meminta persetujuanku. Aku mengangguk, dia balas tersenyum. Ah! Senyum itu ....

Sesaat hening ... beberapa orang lalu lalang di sekitar kami. Mereka tampak berkeliling melihat expo, sama seperti yang baru saja kami lakukan. makin lama makin bertambah ramai, beberapa muda-mudi duduk di bangku di depanku, ada sepasang yang mendekat ke bangku yang kami duduki. Dengan berat hati aku menggeser pantatku, mendekat pada Mas Sam. Ini mulai tidak nyaman.

Aku berdiri, Mas Sam mendongak hendak bertanya. Kuisyaratkan agar dia mengikutiku berpindah tempat. Beberapa meter di depan, ada sebuah pohon beringin yang tampak rindang. Tak ada bangku di sana, ada batu besar di bawahnya, sepertinya nyaman sekali di sana. Bergegas aku melangkah dan Mas Sam berjalan di belakangku.

Ada hal yang masih mengusikku. Kupertimbangkan sebentar sebelum bertanya. "Mas?" Dia menoleh, "boleh aku tahu sesuatu?"

"Aku tak kan menyembunyikan apapun darimu, Honey." Matanya menatapku sungguh-sungguh.

"Mengapa pernikahanmu batal? Apa karena aku?"  Kalau saja aku bisa menahan rasa penasaranku, tak kan kuajukan pertanyaan sinting ini.

"Kenapa harus karenamu? Tak ada siapa pun, semua tetap akan berakhir." Ada gurat kekecewaan saat dia membuang pandangan ke arah jalan raya yang ramai. Kedua alisnya menaut, seakan menahan perih yang ... mungkin sangat menyakitkan

Samudra Cinta Aninda--TelahTerbitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang