Bila hati sudah bertaut, seisi dunia menjadi menjadi tampak sempurna.
**
Kuakui aku cemburu pada masa lalu Mas Sam. Aku masih berharap bisa lahir lebih cepat, hingga enggak ada perempuan lain dalam hidupnya. Masih bisa kudengar ucapannya, "Itu masa lalu, Honey. Kenapa dibahas terus, sih?" protesnya di telepon. Mungkin, memang aku yang keterlaluan.
"Nin! Ditunggu Pak Wid!" Lisa menepuk bahuku, menyampaikan pesan dari guru BP.
Kututup buku di tanganku dan sekalian aku masukkan tas. Bergegas, aku menemui beliau di ruang BP.
Aku mengetuk pintu yang sudah terbuka. Pak Wid tampak sedang menekuri kertas-kertas di atas mejanya. Dia mengisyaratkanku untuk duduk di kursi di depan mejanya.
"Anindanian?" Dia bertanya sambil membetulkan letak kaca matanya yang sedikit melorot.
Setelah aku memberi jawaban, dia mengambil map di clear holder di rak buku lalu menyodorkannya padaku
"Kamu yang ikut pengajuan PMDK ke Teknologi Industri?" Aku mengiyakan. "Tanda tangan di sini."
Aku mengikuti instruksi yang diperintahkannya.
"Sudah mantap dengan jurusan yang kamu ambil, Ninda?"
"Insyaalloh, Pak." Pak Wid tampak berpikir sejenak. Lalu melanjutkan kalimatnya. "Karena jika kamu diterima, daftar ulang dilaksanakan bersamaan dengan UMPTN. Dan tidak bisa diwakilkan.
"Dan jika sampai kamu tidak memenuhi daftar ulang tersebut, maka sekolah akan diblacklist. Imbasnya ya, ke adik kelasmu. Mereka tak akan bisa ikut program PMDK tahun berikutnya sampai batas waktu yang tidak diketahui."
"Iya Pak, saya paham." Aku pamit seraya mencium punggung tangan pria tambun itu, setelah mengucapkan terima kasih.
Jurusan yang aku pilih mungkin terasa asing. Belum banyak peminat jika dibandingkan dengan jurusan sastra atau ekonomi. Tapi aku sudah mantap ingin menjadi seorang wirausahawan. Aku berharap bisa punya banyak waktu di rumah, bekerja sambil momong anak-anak Mas Sam. Nanti, ketika sore Mas Sam pulang kantor, aku sudah menunggunya sambil menggendong anak kami. Aduh! Aku menggetok kepalaku sendiri. Jauh amat berkhayalnya.
Hari Sabtu selalu membawa rasa sendiri setiap bel terakhir berbunyi. Aku memang ingin langsung pulang tanpa balik dulu ke kos. Pagi tadi aku sudah titip pesan ke Ranu agar disampaikan ke Bu Kos.
Langit tampak cerah, secerah hatiku siang ini. Dewi Fortuna sepertinya sedang berpihak padaku, sebuah angkot sudah ngetem di depan sekolah saat aku keluar dari gerbang. Penumpang juga sudah hampir penuh, aku enggak perlu menunggu lama, mobil langsung berangkat.
Sedikit masalah hanya pada padatnya lalu lintas, mungkin karena jam pulang sekolah, banyak penumpang yang naik sekaligus turun di tempat lain. Laju kendaraan juga enggak bisa terlalu kencang. Ada dua alteratif ketika kalian berada di daerah Malang kabupaten, selain angkot kalian juga bisa naik bus. Hanya saja jumlah bus lebih dari jumlah bus.
Rutinitas yang harus aku lalui setiap berangkat dari dan kembali ke rumah, berganti angkutan sebanyak tiga kali. Sebenarnya jika menggunakan motor, masih memungkinkan aku pulang-pergi. Sayangnya, motor masih menjadi barang mewah yang tidak semua keluarga mampu membelinya. Ada beberapa kredit yang ditawarkan, tapi bunganya mencekik leher. Aku baru tahu, di waktu kelak, ternyata motor bisa menjadi barang yang dimiliki hampir setiap orang.
"Pulang sekolah, Mbak?" Aku menoleh mendengar seseorang menanyaiku. Kalau melihat barang bawaannya, sepertinya akan pergi camping. Tas di punggungnya super besar dan ada gulungan di bagian atas, mungkin semacam tenda lipat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Samudra Cinta Aninda--TelahTerbit
Teen FictionJodoh itu rahasia sang pencipta. kita tak bisa menentukan dengan siapa akhirnya kita akan bersanding. begitu kira-kira yang aku alami, tak pernah terbayangkan bila suatu ketika aku akan bersanding dengan orang yang tak mungkin memilihku mendampingin...