BERSIKAP

2K 110 26
                                    

Hidup sering kali berjalan lamban. Berbeda dengan kisah-kisah di layar kaca, semua kisah lekas melaju dan bahagia.
Semua karena Tuhan punya cara yang lebih lembut dan misterius dalam setiap garis-Nya, agar manusia mau lebih berfikir dan berjuang.

**

Aku menjalani hari-hari yang sama setiap hari, kosan dan sekolah, lalu pulang setiap akhir pekan. Dan begitu seterusnya, berputar pada poros yang sama.

Berusaha menjadi anak baik itu kadang membosankan, saat teman-teman mulai kenal dengan mall dan plaza, nonton, kongko-kongko di kafe, aku lebih memilih menghabiskan waktu berkawan tumpukan buku.
Mengisi senggang dengan kencan bersama ratusan lembar kertas.

Rea jadi jarang di kamar, seorang pemuda teman anak ibu kos, mulai menyita waktunya. Pemuda yang cukup karismatik, tampan dan perhatian. Meski berbeda sekolah, dia hampir tiap hari datang kemari.

Demi mengusir jenuh, aku masuk sebuah kegiatan ekstra di sekolah, Palang Merah Remaja. Sebuah pilihan benar, di sini aku belajar banyak hal, bertemu banyak orang yang memiliki jiwa sosial yang tinggi. Mereka mengajariku makna 'tepo sliro', serta berjiwa sosial. Orang-orang yang berjiwa besar, mampu mengesampingkan kepentingan pribadi demi kemanusiaan.

Kali ini ada Latgab, latihan gabungan, di mana semua anggota dari seluruh angkatan akan berlatih bersama.
Aku sebagai anggota baru, baru kali ini mengikutinya. Banyak wajah baru yang selama ini hanya melihat tanpa bertegur sapa. Siswa-siswa berprestasi yang cukup punya nama di seantero sekolah.

Seorang kakak kelas mendekat, mengajakku berjabat tangan memperkenalkan diri. Sedikit kaget dan salah tingkah. Kubenahi letak dudukku. Namanya Aldo, orangnya humble dan simpatik, sedikit pemalu kelihatannya. Sesekali  dia menunduk setiap tanpa sengaja mata kami bertemu, lucu.

Tapi sudahlah! Tak perlu membahasnya terlalu detail aku sendiri masih tak tertarik menjalin hubungan dengan seorang cowok. Eh! Iya kalau dia ada modus, kali saja cuma mau kenalan. Tanpa sadar kugaruk kepala yang tak gatal, konyol!

Keputusan berpisah dengan Jo memang menorehkan bekas
yang cukup dalam. Lelah berada dalam perdebatan setahun ini. Alangkah lebih baik menikmati kebebasan tanpa harus menjaga hati siapapun. Samua itu membuatku memasang pagar pembatas pada lawan jenis.

Tapi apa boleh buat, perkenalan tidak mungkin ditolak. Sejauh dia bersikap baik, gak ada salahnya menerima. Uluran pertemanannya. Hanya teman.

**

Ujian catur wulan akhir menyita hampir semua waktu dan perhatianku. Target untuk penjurusan tahun ini harus sesuai harapan. Tumpukan buku setebal kamus bahasa inggris, catatan sepanjang jalan raya menemani setiap saat.
Aku sedang memelototi catatan biologi, pelajaran IPA yang paling sulit aku simpan di otak, hafalanku yang lemah menyebabkan susah sekali menghafal nama-nama latin dari berbagai nama tumbuhan maupun hewan. Kadang berharap ada rumus semacam pada matematika dan fisika sehingga saat bisa tahu kunci bagaimana menguraikan kata latin tanpa harus menghafal.

Seseorang tiba-tiba menaruh pantatnya di sampingku, hampir saja aku akan mengumpat, saat sebuah amplop warna putih diacungkan di depan mataku.

"Surat buat kamu!"
Belum sempat aku meraihnya, amplop itu ditarik kembali.
"Perangkonya buat aku ya, Nin!"

Aku mengangguk, setelah mencopot dua perangko di bagian kanan atas amplop, dia ulurkan kembali padaku. Ika namanya, teman sekelasku yang memang punya hobi filateli belakangan ini.

Sebuah amplop dengan pinggiran garis biru dan merah dan ada tulisan Air Mail di pojok kiri atas tengah berada di tanganku. Ada namaku di bagian penerima tanpa kelas, hanya alamat sekolah. 'Pak Sam?' Aku sangat hafal dengan tulisan tangan bergaya gotik itu, rapih. Penasaran kubalikkan amplop melihat nama pengirimnya, Emon. 'Kok Emon?' Penasaran sekali aku ingin membukanya. Tapi kalau sampai ketahuan teman-teman bisa runyam. Bisa jadi surat ini akan dibacakan di depan kelas. Gak kebayang malunya. Kulipat amplop, kumasukkan dalam saku.

Samudra Cinta Aninda--TelahTerbitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang