Sering kali manusia itu naif. Menyimpan rasa dengan begitu rapat.
Menyimpan tanya yang seringkali tak mampu tersampaikan tapi setengah mati ingin tahu jawabannya.*****
Pak Sam menghapiriku. Tangan kanannya disembunyikan dibelakang badan, tersenyum, membuat rasa perih ini terasa makin mengiris.
Mengapa aku jadi salah tingkah ya?
Tidak! Tidak! Ninda, please! Jaga hatimu. Jangan keGRan."Selamat ya dek. Ini bukan hadiah sih, cuma ini mawar pertama yang berbunga saat kemarin sore aku pulang."
Pak Sam mengulurkan setangkai mawar merah padaku. Dan setangkai lagi kemudian.
Aku tak mampu berucap apapun. Kalian bisa bayangkan kan? Bagaimana rasanya tersanjung. Tiba-tiba indera pengecapku menjadi keluh.
"Kebetulan ada dua juga. Satu untuk merayakan prestasimu dan satu lagi sebagai ganti maaf tak bisa mendengarkan ocehanmu satu minggu ini."
Aku masih membeku, masih bersitegang dengan pikiranku sendiri. Meski dengan rasa yang berkecamuk, antara berani dan tidak, aku meraihnya.
"Trimakasih." hanya itu yang terucap. Hening.
Aku sibuk bersenandika dalam sepi sesaat. Kami terdiam. Sekian juta diksi sekaligus lenyap dalam saat yang bersamaan. Tak ada kata yang melintas.
"Aku pulang ya pak."
Duh! Mengapa harus kalimat ini yang keluar? Dodol!
Tak ada pandangan kecewa dari tatapannya. Tetap seperti biasa, tenang menghanyutkan. Rasanya aku sendiri yang kelimpungan menetralisir hati yang seolah tercabut paksa dari tempatnya, perih.
"Iya. Hati-hati ya, ingat belajar lebih rajin , gak usah ikutan temen kamu yang macem-macem." Aku mengangguk.
"Besok mulai libur kan? Mainnya jangan jauh-jauh ya."
Orang yang sangat aku segani itu berpesan, seraya memiringkan kepala, melebarkan mata bulatnya seolah penuh penekanan atas titah.
"Idih Pak Sam crewet amat."
Kucoba bersikap sebiasa mungkin. Menampilkan senyum termanis yang kumampu. Berharap debar ini tak kan didengarnya.
"Ya iya lah dek. Jangan sampai kamu ikutan asma seperti Heni tempo hari."
Kami tertawa.Ya! Benar-benar tergelak, seolah itu semua adalah lelucon. Hingga aku berjalan meninggalkan rasa yang seolah tak mau pulang, gelak itu masih tersisa. Meski hanya tinggal sunggingan senyum.
**
Sore yang indah, semburat senja yang berwarna jingga. Merona mengisaratkan rasa yang penuh misteri.
Sebenarnya apasih yang ada dalam benak Pak Sam. Mengapa begitu baik dan perhatian sekali padaku.
Baru kali ini aku merasa tidak ingin mencemooh Mbak Rani yang bercita-cita menikah dengan Pak Sam.
KAMU SEDANG MEMBACA
Samudra Cinta Aninda--TelahTerbit
Novela JuvenilJodoh itu rahasia sang pencipta. kita tak bisa menentukan dengan siapa akhirnya kita akan bersanding. begitu kira-kira yang aku alami, tak pernah terbayangkan bila suatu ketika aku akan bersanding dengan orang yang tak mungkin memilihku mendampingin...