MENEMUIMU

1.6K 146 36
                                    


Ada kalanya saat-saat dimana kita kehabisan diksi. Tak menemukan satupun kata yang mampu mengambarkan rasa di dada ini. Ketika waktu itu datang, berhentilah berfikir kata, cukup rasakan getaran hatimu yang sedang bersenandika.

*****

Aku tak tahu harus berbuat apa saat suara itu begitu dekat berbisik di telingaku. Seluruh sendi tubuhku seolah kehilangan aliran darah, dingin, lalu membeku seketika.
Sejurus terdiam, tak mampu menjawab salam yang dia ucapkan.

"Dek?" sebuah panggilan menyadarkanku seketika.

Kucubit lenganku sedikit, sakit. Aku tidak sedang bermimpi. Ini nyata, dia sedang bersuara.
Aku menjawab salamnya dengan terbata. Rasa nyeri ini semakin membuatku tersiksa.

"Kita perlu bicara." Ada getar dalam suaranya. Berbeda dengan biasa, suaranya turut terbata seolah takut salah berucap.

"Ini sudah lewat jam malam. Ibu Kos akan marah jika kita ngobrol terlalu lama." sadar yang kukatakan, reflek kututup mulutku dengan tangan kiri. 'Tolol kamu Ninda,' rutukku dalam hati.

Hening beberapa detik.

"Sebentar saja, ada yang tak mungkin kutunda sampai besok."

Aku hanya mengangguk, meski setengah kesadaranku mengatakan, 'bukankah dia tak bisa melihatku?' Biarlah! Mengetahui apa yang akan dikatakan itu lebih penting. 'Diam dan dengarkan saja Ninda!'

"Sebenarnya sudah kukirim surat siang tadi, tapi pasti butuh tiga sampai empat hari untuk sampai kepadamu, Dek." Dia berhenti sejenak, "aku berharap kamu tak kan pergi, Dek. Jangan pernah lagi ...!"

Aku masih diam. Bibir tiba-tiba keluh, lidah pun beku. Sekujur tulangku serasa lepas dari sendinya. Aku yang tadinya berdiri tiba-tiba terasa ringan melayang. Gagang telpon dalam genggaman hampir terlepas. Untung saja segera kukuasai diri, kuraih sebuah kursi. Meletakkan pantat sebelum benar-benar roboh.

"Dek! Kamu masih di situ?"

Aku mencoba tetap berpijak pada bumi, mengiyakan. Hanya satu kata itu saja yang mampu terucapkan.

"Maukah kamu menerimaku sebagai seorang laki-laki sesungguhnya?" Perlahan sekali dia bicara, "Honey?" lembut berucap, bahkan serupa bisikan yang begitu dekat.

Tubuhku terasa sangat dingin menggigil sampai gigiku hampir gemerutuk. Dan nyeri itu seolah memenuhi seluruh saluran darah di dalam tubuh.

"Aku tak tahu." Ini bukan kebohongan, ada dua sisi hatiku yang berkecamuk, antara bahagia dan ragu.

Dia memberiku waktu berfikir.

Hari Sabtu, kujanjikan waktu menemuinya. Selepas les Bahasa Inggris di Jalan Pajajaran.
Dia menyanggupi untuk datang kemudian menutup telepon dengan salam.
Ingin sekali mencegah, aku masih ingin mendengar suaranya.  Namun sayang keinginan itu hanya berhenti di dalam hati.

Andai waktu boleh berhenti sejenak saja.

Kutarik napas sedalam-dalamnya, kuembuskan kembali dan mengulangi beberapa kali. Setelah cukup tenang, aku menuju kran air mengambil wudhu sebelum kembali menuju kamar.

Kugelar sajadah, sholat Isya'.

"Ya Robb ampunkan hamba, jika ini memang jawaban atas doaku. Sungguh! Hamba meragu."

**

Benar saja, hari kamis pagi sebuah surat bertuliskan namaku sudah bersandar di antara deretan surat yang terpajang di kaca ruang administrasi.
Aku mendongak ke dalam. Pak Handoko tersenyum.

"Tuh Mbak suratnya sudah datang."
dia terkekeh. Aku sedikit malu.

Hampir setiap minggu aku akan mengunjungi ruang ini hanya sekedar bertanya apakah ada surat untukku. Semua itu membuat para pegawai di ruang administrasi hafal padaku. Mereka baik, meski kerap kali menggodaku dengan mengatakan ada surat, padahal gak.

Samudra Cinta Aninda--TelahTerbitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang