Secercah Harapan

1.9K 124 21
                                    


Cinta itu adalah perasaan, karenanya ketika dia menyapa maka logika akan melemah. Meskipun tak mudah, tetap gunakan logika ketika jatuh cinta. Tanpa logika cinta akan buta.

**

Kubuka kembali surat terakhir Pak Sam. Mungkin aku bisa temukan sebuah jawaban di sana. Otak ini lelah jika selalu harus mencerna setiap isyarat dia yang sering kali tak mampu kupahami.
Mungkin Rea benar, tapi bisa juga dia salah mengartikan.

'Untuk Aninda

Assalamualaikum Dek,

Aku terima suratmu kemaren sore. Lama juga ya, harus seminggu baru nyampek ke rumah.
Eh, adekku sudah kenal cowok ganteng rupanya. Dari ceritamu, sepertinya dia anak baik.
Kalau memang kamu suka, kenapa mesti tanya pendapatku?
Sudahlah tak perlu pertimbangkan pendapatku Dek.
Aku yakin kamu sudah cukup dewasa untuk memutuskan.

Biarkan aku sendiri di sini saja, kamu berhak mendapatkan apa yang terbaik.
Asalkan kamu bahagia, aku juga bahagia.
Jaga diri baik-baik, kalau kamu butuh cerita, sewaktu-waktu aku selalu ada untukmu.

Wassalamualaikum

Samudra'

Kuhirup udara dengan rakus lalu kehembuskan kembali dengan kasar. Tetap saja, masih terasa sesak. Sejenak memejamkan mata, mengumpulkan seluruh keberanian dalam diriku. Kali ini tekat sudah bulat, mengakhiri semua harapan yang selama ini bersemayam dalam jiwa ini.

'Pak Samudra yang terhormat

Assalamu'alaikum,

Surat ini mungkin akan menjadi surat terakhir yang engkau terima, karena setelah ini aku tak akan mengusik kehidupanmu lagi.
Aku sudah mendengar banyak hal tentang kehidupanmu Pak, sudah cukup.
Aku cukup tahu diri untuk tak mengusik kisah cintamu. Aku paham siapa dan di mana aku berada.
Karenanya aku pamit untuk yang kedua dan terakhir kali.

Tak perlu membalas suratku, aku tak lagi membutuhkannya.
Semoga kehidupanmu akan lebih indah tanpa hadirku.
Terimakasih untuk semuanya. Terimakasih atas waktu yang engkau sia-siakan setahun ini, hanya demi mendengar keluh kesahku.

Wassalamu'alaikum

Anindanian'

Kulipat suratku, memasukkan ke dalam amplop warna biru. Tanpa nama, tanpa alamat.
Aku butuh cara lebih ekspres dari sekedar surat kilat khusus yang masih butuh tiga hari untuk sampai pada tujuan.
Semua sudah kupikirkan masak-masak. Hari ini Zia, adek bungsu Pak Sam akan mendaftar sekolah yang sama denganku. Dia memintaku mengantarnya.

Karena libur sekolah, aku tidak mengenakan seragam ke sekolah. Stelan celana jins kelabu dengan kaos garis merah muda berkrah kurasa cukup sopan untuk acara semi formal, tak lupa jilbab segi empat warna senada kupakai tanpa aksesoris apapun, cukup  sematkan peniti kecil di bawah dagu.
Dan sebuah sling bag warna hitam polos nangkring di pundak, tak lupa sepatu boot warna hitam bertali merah muda senada dengan kaos yang kukenakan.
Sejenak berkaca, memandangi diriku di depan cermin. "Tak terlaku buruk sebenarnya, hanya nampak kurang dewasa," gumamku.
Aku tersenyum kecut pada pikiran sendiri.
Kutepis semua pikiran kacau dalam benakku. Segera berlari kecil menuju dapur pamit pada Bunda.

Sesuai janji kami janjian bertemu di gang depan. Masih pukul 6 pagi. Udara dingin menyusup di antara kaosku. Menyesal mengapa tadi tak pakai jaket.
Dari kejauhan sayup kulihat Zia melangkah ke arahku. Kupicingkan mata memastikan yang kulihat benar, dia tidak sendirian, ada seseorang berjalan di sampingnya. Tak butuh banyak berfikir, aku sudah mengenalinya.
Zia melambaikan tangan, sedikit berlari menghampiriku, mendahului langkah lebar lelaki di sampingnya.
Mereka makin dekat, dan nyeri di dada ini kian menyergap. Orang itu di sini, mendekat, ingin rasanya berlari kencang, menjauh. Angin di sekelilingku  berhembus terasa makin kencang, tapi mengapa seluruh tubuhku makin berkeringat.

Samudra Cinta Aninda--TelahTerbitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang