KENCAN KEDUA

1.5K 112 22
                                    

Cinta itu butuh kepercayaan. Tanpa itu cinta tak akan mampu bertahan menghadapi gelombang kehidupan.
Tetap percaya bahwa semua sudah digariskan, jika memang jodoh, selalu ada jalan untuk dipertemukan.

*****

Suara azan subuh membangunkanku dari mimpi yang entah. Rasanya masih berat mata ini dibuka. Baru jam tiga dini hari tadi, aku bisa memejamkan mata. Bayangan peristiwa tadi malam masih tergambar jelas di benakku.

Mungkin aku memang terlalu naif atau bisa jadi terlalu kekanak-kanakan menghadapi situasi saat itu.
Seharusnya membiarkan Mas Sam bicara pada Bunda, tapi malah menyuruhnya cepat-cepat pulang. Kukatakan pada Bunda jika Mas Sam hanya mengatar, karena Heni masih di sana, sehingga aku tak berani sendiri. Bunda tak banyak bertanya lagi. Hanya berterima kasih dan dia pamit pulang.

Selain itu rasanya  momennya kurang tepat, sudah terlalu malam. Lagi pula aku butuh menyiapkan mental--jika ternyata Bunda tak merestui kami.

Andai saja tak banyak kisah cinta terdahulu dalam kehidupan Mas Sam, mungkin tak kan sulit meyakinkan Bunda. Apalagi sejak Mbak Rani patah hati, Bunda beranggapan bahwa Mas Sam adalah pria play boy yang akan menyakiti hati para gadis yang dekat dengannya--memberi harapan kemudian meninggalkan. Ditambah lagi pernikahan yang batal tak jelas duduk permasahannya. 'Mengapa begitu rumit hidupmu, Mas?'

Saat semalam bersama Isna, sebenarnya sama sekali tak terfikir Mas Sam akan menduakanku. Terlambat jika meragukan sekarang. Aku percaya sepenuhnya pada Mas Sam, hanya situasi yang tak bisa aku terima. Merasa diabaikan, tak dipedulikan, dan aku tak bisa berbuat apa pun.

Bukan kesalahan jika banyak yang mendambakan cinta Mas Sam. Tapi wanita mana yang tidak gerah jika kekasihnya dipandang dengan begitu lekat oleh wanita lain. Sudahlah aku tak mau memikirkan hal itu lagi, lelah.

Aku menatap diriku di cermin, 'konyol', rutukku. Jika saja aku bisa  tampak lebih dewasa, sedikit ... saja. Mungkin kisah ini akan berbeda, barangkali ibu Mas Sam juga akan mempertimbangkan aku jadi menantunya.

Kupandang  diriku sekali lagi di cermin, "hadew! Tetap saja gak ada bagus-bagusnya." keluhku. Kusambar handuk di gantungan pintu, berlari kecil ke kamar mandi.

"Buk!" Aku menubruk seseorang.

"Ninda!!" Ada yang berteriak, aku mendongak, "Dasar ceroboh!"
Bang Rey ngomel-ngomel. Kubalas dengan cengiran. Kabur ....

*****

Angin berembus sepoi-sepoi sore ini, sejuk menerpa wajahku. Aku sedang membaca sebuah novel roman di teras samping saat terdengar suara motor berhenti di teras depan rumah.

"Ninda ...! Ada tamu." Suara Bunda dari ruang  tamu terdengar.

Siapa yang datang? Apa mungkin Mas Sam? 'Ah! Tak mungkin.'
Kuletakkan buku yang sedang kubaca di atas meja. Melangkah perlahan menuju ruang tamu. Kugosok mata memastikan siapa yang datang. Apa benar yang kulihat?

Dia tersenyum menyapaku.

"Kak Aldo?" Setengah berteriak aku berucap, tak percaya dengan apa yang ada di hadapanku.

"Apa kabar, Aninda?" sapanya sambil berdiri.

Aku mempersilahkannya duduk. Salting juga, kugaruk kepala yang tidak gatal, berusaha menyembunyikan rasa canggung yang menyerang.

"Baik, Kak. Kok tahu rumahku?"

"Iya, lihat di biodata kan ada, Nin. Untung gak nyasar. Padahal baru kali ini aku ke daerah sini." Dia menjelaskan masih dengan senyum yang merekah. Aku terkekeh mendengar ceritanya. Nekat bener ini cowok.

Samudra Cinta Aninda--TelahTerbitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang