Bibir boleh bilang tidak ribuan kali, tapi hati tak kan pernah bisa dibohongi.
Akui saja, karena cinta itu bukan karma yang harus dibuang jauh dari kehidupan.*****
Sepekan sudah menantikan kedatangan Jo sejak surat yang kukirim tempo hari. Kalau memang tak mau bertemu, setidaknya bisa menelepon ke kos, atau membalas surat melalui Heni.
Aku tak bisa terus menunggu tanpa kabar apapun.Kuketuk pintu rumah Heni, sebentar saja, terdengar suara langkah kaki mendekat.
Wanita paruh baya bergamis biru dengan kerudung panjang di bawah dada berdiri di balik pintu yang dibuka."Heni ada, Tante?"
Dia tersenyum seraya mengangguk.
"Masuk Nin, apa kabar?" Aku menjawab sambil mencium punggung tangan Ibu Heni.
Setelah mempersilahkan duduk, wanita itu kembali masuk ke ruang tengah. Tak berapa lama Heni berjalan ke arahku. Kami berpelukan sesaat.
Kuutarakan maksud datang menemuinya. Dia tampak sedikit kaget, wajahnya berubah pias."Maafkan aku Nin! Aku lupa mengantar suratmu."
Jawaban yang tak terduga keluar dari bibir Heni. Aku menutup mukaku kecewa. Dia menatapku penuh penyesalan.
Ingin rasanya meluapkan rasa marah yang menyeruak mendengar ucapannya, tapi kuurungkan. Menyimpan rasa kecewa dalam diam. Tak tahu harus mengatakan apa, semua bagaikan sebuah garis yang tak menemukan titik temu. Pada akhirnya tetap kelelahan mengurai arah sendiri.
Heni berjongkok di depanku memohon maaf.
"Sudahlah Hen, tak apa-apa, mungkin sudah garisnya seperti ini."
Kutarik nafas panjang dan dalam. Dada terasa sesak, udara di ruang ini tiba-tiba pengap. Asupan oksigen seolah tercekat ketika masuk ke dalam rongga paru-paru. Kupegang kedua bahu sahabatku, mendudukannya di atas sofa.
"Aku akan mengantarnya sekarang Nin."
Tanganku menahan Heni untuk tetap duduk. Kugelengkan kepala melarangnya pergi.
"Kalau Jo memang menyayangiku tentu dia sudah menemuiku dengan atau tanpa surat itu. Biarkan saja, waktu juga yang akan memberi jawaban."
Kecewa? Ya! Aku sangat kecewa. Harapan bahwa Jo masih ingin mempertahankan hubungan kami sirna. Semua harapan menjadi sia-sia. Haruskah aku bertahan mengharapkan kehadirannya? Jika pemuda itu sama sekali tak berusaha mempertahankan hubungan ini.
Tak mau larut terlalu lama dalam kekecewaan, tak sampai malam aku pamit pulang.
'Apa maumu Jo?' Kuhempaskan tubuhku di ranjang di kamarku. 'Apakah memang Jo tak kan pernah bisa dewasa? Sampai kapan aku terjebak dalam ketidakpastian ini?'
Malam makin larut, dingin membuaiku dalam mimpi panjang.*****
'BAKSO KOTA' Papan nama itu terpampang besar di bagian depan kedai makanan khas kota Malang. Aku menerima pesan Jo saat Heni menelponku semalam di kos.
Sedikit gemetar aku melangkah, tak tahu apa yang bakal terjadi hari ini.
Kuedarkan pandangan di sekaliling ruang yang tidak terlalu luas. Sesosok pemuda berkemeja biru duduk di sudut kanan menghadap meja. 'Jo?' Iya tak salah lagi, itu dia. Dia melambaikan tangan memintaku mendekat. Sedikit berat kaki ini melangkah, menarik kursi kemudian duduk. Kami berhadapan, kaku.Harusnya aku bahagia, selayaknya sepasang kekasih yang dilanda rindu, yang sudah sekian lama tak bertemu. Nyatanya kami lebih seperti orang asing yang baru saling berkenalan.
"Apa kabar?" Jo membuka suara.
"Baik, kamu?" Kalimat yang terdengar sangat garing di antara kami.
KAMU SEDANG MEMBACA
Samudra Cinta Aninda--TelahTerbit
Novela JuvenilJodoh itu rahasia sang pencipta. kita tak bisa menentukan dengan siapa akhirnya kita akan bersanding. begitu kira-kira yang aku alami, tak pernah terbayangkan bila suatu ketika aku akan bersanding dengan orang yang tak mungkin memilihku mendampingin...