MEMILIH

1.8K 98 11
                                    


Selalu ada akhir di setiap perjalanan. Jika akhir sebuah kehidupan adalah kematian, maka akhir sebuah harapan adalah perpisahan.

*****

Tiga tahun itu cepat rasanya. Seperti kemaren aku masuk di sekolah ini, berlari berebut kursi di dalam kelas, berjabat tangan saling berkenalan.

Memang waktu tak kan pernah menunggu, ada saat di mana kita harus berpisah dengan sahabat-sahabat terkasih.

Dentang musik mengalun merdu, lagu sheilla on seven 'kisah klasik' mengiringi pelukan demi pelukan.
Berat melepas kalian semua, tapi asa meraih cita harus ditunaikan. Berhenti di sini tak kan menjanjikan apapun. Meski berat, pada akhirnya semua harus menggapai mimpi masing-masing.

Jo berdiri di depanku, aku memandangnya. Dia balik menatapku lurus, seolah ingin masuk lebih jauh ke dalam pikiranku.

"Apakah aku masih punya kesempatan?"

Dia memandangku lekat, seolah tak mau berkedip.
Sejenak ku atur nafas, mencari jawab dalam kebisuanku sendiri. Memandang guratan awan yang bertebaran memutih di antara biru langit.

Aku menarik nafas lebih dalam. Menimbang hal yang memang sedang aku inginkan. Mungkin sekarang saatnya aku memberinya kesempatan.

"Baiklah, kita akan coba."

Ada binar kebahagiaan di matanya.

"Tapi kau juga tahu, hubungan kita akan berat," aku menarik nafas dalam sebelum melanjutkan kalimatku. "Aku akan berada jauh darimu."

"Apapun itu, asal kamu mau jadi pacarku, aku tak mengapa Nin."

Jo menyentuh ujung jariku, ada desir menggelitik di dadaku, spontan aku sedikit bergeser menariknya.

"Tidak untuk itu Jo."

"Aku mengerti."

Kulihat dia sedikit kecewa, tapi kembali tersenyum.

Beberapa teman berhambur mendekati kami. Aku terjaga dari sebuah kepingan pazzle yang sedang kucoba mencari pasangannya.

Jo menggeser tempatnya. Memberi ruang yang cukup bagi para gadis bereskspresi.

Kami para siswi berpelukan erat, memberi selamat tinggal dan salam perpisahan. Kami menangis, sedih dan bahagia.

*****

Hari-hari yang penuh dengan perpisahan di sekolah juga di madrasah. Berat, tentu saja. Tapi masa depan sudah menunggu.

Malam imtihan di madrasah sangat meriah, penuh warna-warni lampu, suara lagu-lagu rohani mengalun merdu.

Penutupan harla akhirussanah yang diselenggarakan setiap tahun sebagai malam inagurasi bagi murid-murid yang sudah menyelesaikan pendidikan di Madrasah Diniyah.

Sebuah panggung besar di dirikan di halaman madrasah. Selain berbagai tampilan dari para murid, ada  pula acara puncak berupa pengajian akbar.

Bukan hanya murid dan wali yang diundang tapi juga akan dihadiri oleh warga sekitar. Kursi-kursi sudah berjajar di depan panggung. Khusus kursi paling depan menghadap meja, biasanya diteruntukkan para undangan khusus, pak lurah, pak camat, pak rt dan beberapa tokoh masyarakat di desa kami.

Kue-kue khas pedesaan, nogosari, lemper, pastel, roti kukus dan beberapa macam jajanan kering disajikan diatas meja. Setumpuk kotak kue putih berisi tiga macam kue basah diperuntukkan bagi pengunjung lainnya.

Kawan-kawan mendapat tempat duduk tepat di belakang para undangan, termasuk aku. Kami, yang dilepas malam ini. Dan pengunjung umum ada di bagian paling belakang setelahnya.

Samudra Cinta Aninda--TelahTerbitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang