GALAU

2.4K 129 7
                                    


Dalam hidup sering kali kita dihadapkan pada dua pilihan.
Seringkali keadaan memaksa kita harus memilih apa yang tidak kita sukai. Tapi hidup harus terus berjalan. Tak mungkin terus menunggu sesuatu yang tak pasti. Biarkan takdir yang menyampaikan harapan itu di suatu ketika.

*****

Pak Sam menatapku penuh tanda tanya. Mata bulat itu seolah mampu menembus ke dalam lubuk sanubari yang terdalam. Aku merasa ditelanjangi tanpa menyentuh ragawi. Badanku terasa lemas, Lunglai dan hendak terkulai. Aku mematung sesaat. Waktu seolah berhenti sejenak, mengambil nyawaku, dan aku mati rasa.
'Ninda sadar!'

"Dek?"

Masih dengan tatapan yang sama. Seakan menelisik segala kegalauanku

"Eh! Iya Pak Sam. Maaf."

Aku bergeser mendekat. Bersandar pada tembok di belakangnya. Kuraih buku yang ada di pangkuan, mengambil amplop merah muda yang terselip di dalam.
Kuulurkan amplop itu.

"Cie ... beneran ditembak cowok rupanya. Pakai surat cinta lagi. Adekku sudah mulai gede ya?"

"Baca dulu pak. Please dech!"

Aku bersungut menanggapi candaanya. Kupalingkan muka, ngambek.
Pak Sam diam, tak hendak membujuk agar aku tak merajuk. Wajahnya mulai serius. Menarik nafas lebih dalam. Mulai membuka dan membaca surat itu. Kedua alisnya berkerut beberapa kali, mata bulat hitam yang selalu tampak tajam itu mengerjap sesekali. Kembali dia melipat kertas dan memasukkan ke dalam amplop.

Kini matanya berpindah memandangku, hanya sekarang lebih seperti mau mengintrogasi.

"Teman sekelasmu ya ...?" Nada suaranya sedikit ada tekanan, hati-hati, seolah mencari kalimat paling manis dalam tanyanya.

Aku mengangguk. Tetap tak bersuara.

"Kamu menyukainya?"

Aku tertunduk. Memainkan jemari yang bertautan di pangkuanku. Mungkin kali ini aku mirip anak kecil yang ketahuan mencuri buah mangga milik tetangga. Aku tak berani membalas tatapan itu. Darahku serasa berhenti mengalir, aku malu sekaligus ingin tahu. Entah apa yang kuharapkan. Apa aku ingin Pak Sam mengijinkan atau menahan.

"Tidak tahu. Saya tidak tahu pak. Jo itu baik, perhatian. Saya takut mengecewakannya. Terlebih ... menyakitinya. Saya tak ingin terlalu egois dengan menggantungkannya tanpa kepastian."

Aku masih menunduk.

"Pacaran itu tidak semudah berteman Dek. Ada banyak konsekuensi di dalamnya."

Dia diam sebentar. Mata bulatnya memandang sesuatu yang tak kasat mata.

"Pacaran itu memang indah tampaknya. Apalagi untuk kamu yang baru beranjak mengenal dunia baru. Perhatian, empaty, pengakuan adalah hal yang tak kalah penting dari prestasi di sekolah bagi kalian. Kalian memang sedang mencari jati diri. Itu penuh godaan, Dek."

"Jadi menurut Pak Sam, saya harus bagaimana?"

Kuberanikan menatapnya.

"Lebih baik jangan dulu. Kamu masih kecil. Memang kamu sudah siap dengan komitmennya? Saat kamu memutuskan punya pacar, berarti kamu telah menyerahkan sebagian hakmu pada orang itu."

Pak Sam mengembalikan amplop itu padaku.
Tak biasa Pak Sam seserius ini bersikap.

"Saya harus bagaimana pak? Haruskah saya menolaknya?"

"Tak ada yang cuma-cuma di dunia ini, Dek. Selalu ada tendensi pada setiap perbuatan. Jika kamu bilang Jo perhatian, itu karena memang ada yang diharapkan. Selalu ada bayaran yang sepadan pada setiap pengorbanan"

Samudra Cinta Aninda--TelahTerbitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang