Fase Baru

148 20 0
                                    


"Bila lelaki tercipta dengan banyak cinta, kuharap padakulah kau jatuh cinta berkali-kali." Aninda

**

Aku enggak pernah menyangka bakal sampai di titik ini. Aku enggak pernah merasa hidupku sesempurna ini. Semua keberuntungan seakan berpihak padaku, cinta Mas Sam, restu Bunda, kampus impian, semua serentak menghujaniku dengan kebahagiaan.

Setiap malam aku memohon pada yang maha kuasa, jangan pernah mengambil semua ini dan aku pasrahkan semuanya pada-Nya. 

"Kita tidak jalan dulu, Honey. Sampai ujianmu kelar," ucap Mas Sam, ketika dia datang malam mingguan.

Aku hanya cengar-cengir menikmati ekspresi seriusnya. 

"Iya Pak Guru. Enggak perlu kemana-mana. Di sini saja, asal ada kamu, cukup." Dia menggelengkan kepala, kesal. Tampangnya lucu sekali. 

Sekarang dia lebih mirip asisten Bunda ketimbang pacarku. Pernah satu malam dia ikut begadang menemaniku belajar dengan tetap berada di ujung sambungan telepon. Dia bela-belain beli voucher telepon gold yang hanya dihabiskan dalam sekali  pakai. Dia enggak mau orang rumahnya curiga ketika tagihan telepon mendadak membengkak.

Padahal bukannya bisa konsentrasi, aku malah terlena mendengar suaranya yang berat dan berulang kali manggil, "Honey!" Jika aku tak bersuara. Kabel telepon berasa mau kugigit membayangkan mukanya.

Hari-hari berjalan lebih indah dan penuh warna sejak komunikasi kami menjadi mudah. Tanpa  terasa ujian akhir sekolah kulalui tanpa beban berarti.

"Ninda! Namamu ada di daftar peserta lolos PMDK." Dewi tergopoh menghampirirku. Aku langsung berlari menyeberang, masuk ke dalam warnet--warung internet--di depan sekolah, membuka web kampus. Berdebar, telunjukku menekuri nama-nama yang ada di layar komputer. Aku menjerit girang begitu kulihat ada namaku di urutan nomor 11. Berkali-kali aku berucap syukur pada Tuhan. 

Hal pertama yang terpikir: aku harus memberitahu Bunda dan Mas Sam.

Berulang kali kutekan nomor telepon rumah Mas Sam, enggak juga ada yang angkat. Hingga pada sambungan ke tujuh, terdengar suara beratnya mengucap salam. Aku berada pada mode enggak jelas antara ingin memberi kabar gembira dan sebal menunggunya.

"Honey, kenapa?" Suaranya terdengar panik.

Setelah sedikit mengomel, baru aku memberitahunya. 

"Kukira kamu kenapa-napa, Honey. Apa gak bisa gak usah ngedumel?" Aku merengut, tapi percuma dia enggak bakal bisa lihat. "Yaudah, selamat, ya, Sayang."

"Bukan hanya buatku, Mas. Selamat buat kita. Sudah ya, aku mau telepon Bunda." Tanpa menunggu jawabannya, kututup gagang telepon dan memencet nomor rumahku.

"Loh kok, Mas lagi?" Terdengar dia terkekeh. Aduh! Cerobohku kumat lagi.

"Honey, kamu masih kangen, ya?"

"Jangan bercanda dech!" Kututup kembali gagang telepon. Sekarang aku lebih konsentrasi, malu kalau salah sambung lagi.

**

Hari di mana aku menapaki dunia baru, meninggalkan masa remaja,  datang juga. Aku Menjadi mahasiswa baru di Universitas ternama di Malang. Dengan memakai almamater warna biru dongker, rok hitam, kemeja putih, serta sebuah tas dari kardus dibungkus kertas warna merah, aku berangkat ke kampus baruku, mengikuti ospek.

Semua jauh berbeda. Tugas kuliah yang seperti enggak pernah ada selesainya, susul-menyusul dan makin lama makin berat membuat waktu dan tenagaku terkuras habis. Berat badanku langsung merosot di tahun pertama. Belum lagi kegiatan di luar kampus yang aku ikuti, membuat komunikasiku dan Mas Sam benar-benar terabaikan. Kami seperti dua orang yang memiliki dunia yang berbeda: aku dengan tugas dan teman baruku dan dia dengan pekerjaannya yang makin menumpuk.

Aku berpikir semua wajar. Aku mengira ini fase normal yang harus kami lalui. Hingga suatu siang, di sebuah bazar kampus yang sibuk, aku melihat seseorang yang kukenal.l

"Sepertinya aku mengenal dia Tik." Kucolek pinggang Atik--teman sekelasku di kampus.

Atik menoleh mengikuti arahanku. "Isna! Cewek yang pernah aku ceritain kapan hari."

"Cantik ya!"

"Asem!" Aku mengumpat demi mendengar pujian Atik pada Isna, meskipun sebenarnya aku juga enggak mengelak. Isna tampak anggun dengan rok setengah lingkar biru tua dan kemeja warna krem bunga-bunga. Seperti ketika pertama aku melihatnya, dia selalu mengenakan riasan tipis natural yang mampu menegaskan kulitnya yang putih. Dia tampak bercanda dengan beberaoa temannya yang juga tak kalah anggun.

Aku tetap melanjutkan langkahku menyusuri stan-stan bazar. Aku menyapanya ramah saat kami berpapasan di depan stan buku.

"Iya, kamu?" Dia tampak berusaha mengingat-ingat. "Yang di Madrasah itu, kan? Nin ... Ninda? Iya, kan?" Akhirnya dia mengenaliku juga.

Kalau sampai dia enggak ingat padaku, bakal mau ditaruh di mana mukaku? Sok kenal.

"Oh! Ini orangnya?" sahut orang di sebelahnya.

Sontak kalimat itu membuatku tersinggung. Apa maksud dari kalimat yang terkesan meremehkan itu? Tatapan teman Isna itu, sangat tak bersahabat.

Atik menarik tanganku. Dia sudah mau maju mengibarkan bendera perang pada dua gadis di enggak ramah di depanku itu.

Untung Isna tanggap, dia segera mencairkan suasana. "Apa kabar, Ninda? Lama ya, enggak ketemu?" Aku mengangguk.

"Kemaren kenapa enggak datang ke imtihan?" Seperti sebuah kilatan petir, aku langsung menyadari kelalaianku. Aku tetap berusaha menampilkan senyum yang tulus.

"Aku sibuk. Banyak tugas."

"Sayang, ya? Padahal acaranya ramai lho. Aku sampai dua hari nginep di rumah Eyang, biar bisa bantuin Mas Sam." Petir itu sekarang menggelegar.

Aku menarik paksa kedua ujung bibirku membentuk serupa senyuman.

"Minggu ini aku masih ada kelas sama Mas Sam." Huf! Seenaknya dia panggil kekasihku dengan begitu mesra. Kesabaranku sudah hampir habis.

"Oh ya? Aku juga ada janji telpon nanti malam. Mbak, barang kali mau nitip salam?" Wajah Isna berubah memerah mendengar yang kukatakan. Terserah! Aku enggak peduli. Aku langsung menarik tangan Atik dan meninggalkan area bazar.

Atik berusaha menahan langkahku agar lebih lamban.

"Sudahlah, kita bicarakan nanti di kos. Aku lelah."

Tetiba aku jadi merasa takut. Belakangan aku dan Mas Sam tak sempat berkomunikasi, kami sama-sama sibuk. Tapi di sisi lain, ada seseorang yang intens mengunjungi juga berusaha selalu ada di dekat Mas Sam. Isna sudah semester akhir, jelas dia enggak setiap hari ngampus. Sedang aku yang masih semester awal, jelas masih sibuk-sibuknya. Apa Isna juga salah satu alasan dia enggak keberatan aku jarang pulang? Apakah Isna telah menggantikan posisiku?

Kepalaku terasa berputar-putar dan dadaku terasa nyeri. Perempuan itu memenuhi segala kriteria wanita idaman, berbanding terbalik denganku yang hampir enggak pernah mau mengalah pada Mas Sam.

**

Makin seru, kan?

Tungguin spoiler-spoiler berikutnya ya guys.

Jangan lupa tinggalkan jejak kalian.

Apalah saya tanpa kalian❤️❤️

Love,
LutfiRose




Samudra Cinta Aninda--TelahTerbitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang