XI : tangis bahagia

6 0 0
                                    

Enjoy guyss!

Derap langkah gadis itu menyapu dedaunan di halaman rumah bergaya bohemian klasik. Belum sampai semenit tapaknya menyentuh lantai kayu, namun suara makian telah berdenging masuk ke gendang telinganya. Langkah jenjangnya mulai melambat, helaan napas mulai terdengar riuh. Seolah tahu apa yang terjadi di dalam.

Sekujur tubuhnya pesat membeku. Melihat adegan dua orang yang saling bersahutan melempar makian ditambah tak mau kalah meninggikan suara mereka. Tak usah ditanyakan lagi, apalagi ditebak, semua itu dilakoni oleh kedua orangtuanya Ben dan Rima.

Kedatangan Neni ternyata tak menginterupsi keduanya. Mereka seolah hanya fokus pada rutinitas itu yang tak pernah sirna oleh waktu.

“Bisa-bisanya kamu jual mobil Neni untuk bayar semua utang judi kamu, hah?”

“Aku ngga jual mobilnya. Dia sendiri yang ngelakuin itu”

“trus kamu seneng gitu? Tenang? Bisa duduk manis? Atau malah mau judi lagi”

“aku heran ya sama kamu Ben. Ini kan mobil Neni, tapi kenapa kamu yang sewot? kamu tuh harusnya sadar sama kesalahan kamu”

“kesalahan aku? Kamu tuh amnesia atau gimana sih, penyebab semua ini tuh kamu. Dia udah susah payah nabung untuk beli itu, Rima!”

“penyebab rumah kita kaya neraka itu kamu. Coba aja kalau kamu ngga pergi ke tempat bejat itu, sekarang kita jadi keluarga yang paling bahagia”

Ben terpaku diam, lidahnya kelu tak berkutik.

“di rumah ini udah ngga ada cinta Ben! Lebih baik kita pisah. Toh, Neni udah mandiri. Kita semua ini cuma orang asing yang terpaksa harus satu atap”

“ceraikan aku ben! Kenapa sih kamu ngga pernah talak aku hah? Apa yang kamu pertahanin? Oh iya, orang tua kamu ngga akan kasih warisan ke anak-anaknya kalau dia ngga punya istri kan? Aku harap ortu kamu bisa cepet mati, biar kita semua bisa bebas dari neraka dunia ini”

Ben mendorong kasar guci besar yang ada di sampingnya hingga hancur berkeping-keping. Amarahnya sudah tak bisa dibendung. Bola matanya kian melebar menatap rima, kini wajahnya merah padam mengalahkan api yang berkobar.

Rima membekap mulutnya. Manik matanya meneteskan air mata yang sedari tadi tertahan di pelupuk. Itu adalah guci kesayangan Neni, yang ia beli pada saat pertama kali travelling keliling dunia.

Tatapan Rima beralih kepada pria yang ada di hadapanya.

“apa yang kamu lakuin Ben!”

Rima menarik-narik kerah Ben dengan kedua tangannya. Ben berusaha melepaskan tarikan itu, namun Rima terus menarik nya sambil mengumbar makian dengan tatapan membara pada Ben.

Dari kejauhan matanya merekam jelas, tubuh pun membeku dibuntuti bulir bening yang menetes menampakkan amarah yang membara. Hatinya merutuki mengapa ia harus terlahir di keluarga yang seperti ini, apa dosa besar yang sudah ia lakukan pada tuhan hingga menakdirkan garis cerita yang tak pernah ia tahu penyebabnya.

Neni berlari menghampiri Rima dan Ben yang masih saja saling tarik menarik.

“UDAH CUKUP PA! CUKUP”

Niatnya ingin melerai, sayangnya tak di waktu yang tepat.

“MINGGIR!”

Ben refleks mendorong kasar Neni hingga membuat tubuhnya mencium lantai. Ternyata bukan lantai, melainkan kepingan guci yang bertaburan di sana. Neni meringis kesakitan, lengan sebelah kanan hingga bahu tertancap begitu banyak serpihan guci. Darah pun mulai menetes.

Mocca melihat jelas kejadian itu dari kejauhan, ia bergegas menghampiri Neni.

“Nen!”

Ben dan Rima berhenti dari adegan bertengkar yang sedari tadi mereka lakoni. Pandanganya kini beralih pada Neni yang menangis terisak-isak karena perbuatan Ben.

BRIDGE OF NUELATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang