18. Rasa Bersalah

649 117 49
                                    

"Ada yang tidak hadir hari ini?"

"Nares, Bu!" Jafran menjawab pertanyaan Bu Dahlia.

Mendengar itu, Bu Dahlia menurunkan sedikit letak kaca matanya. "Kenapa dia?"

Bukan berterus terang, Jafran malah berdiri dan menghampiri Bu Dahlia. Ia membisikkan sesuatu yang tidak dapat di dengar dengan jelas oleh penghuni kelas. Membuat siapa saja penasaran dan seketika menjadi topik hangat.

Lia awalnya tidak peduli, tetapi karena mendengar langkah kaki Jafran ke depan ia jadi gelisah sendiri. Tak jarang Lia mencuri pandang ke tempat duduk Nares biasanya, tentunya sedikit memikirkan mengapa si pemuda tidak masuk sekolah. Yang pasti tidak mungkin dia sengaja membolos, kata Reza, Nares bukan tipe pelajar yang seperti itu.

Saat Jafran sudah menyelesaikan urusannya dengan Bu Dahlia, ia kembali ke tempatnya semula. Sempat mencuri pandang kearah Lia, namun langsung tertangkap basah dan mengalihkan perhatian sepenuhnya seolah tak terjadi apa-apa.

"Baiklah, pelajaran kita mulai. Jangan lupa berdo'a terlebih dahulu sesuai dengan kepercayaannya masing-masing." Kata Bu Dahlia, memberi intruksi kepada anak didiknya.

***

Rasanya mulut Lia sangat gatal, ingin mewawancarai Rachel ataupun teman Nares yang lain untuk menanyakan perihal Nares hari ini. Tapi tetap saja, gengsinya lebih tinggi. Ia sudah memantapkan hati untuk menutup mata dan telinga tentang Nares Adhinatha.

Namun siapa sangka, bahwa setitik rasa peduli itu masih ada?

"Lia, ayo ngantin dulu. Nggak kering tuh tenggorokan?" Yana menyadarkan Lia dari Dunia teka-teki.

Lia tersentak, mengangguk membenarkan. Memang tadi, Bu Dahlia mengetes kemampuan vocal siswa dan siswi di kelas ini. Nada dan harmonisasi harus efisien. Agar nilai yang diberikan pun tepat. Jadi mereka harus banyak berlatih walau waktu yang ditetapkan oleh Bu Dahlia hanya 15 menit saja. Makanya sebagian dari mereka langsung berhamburan mencari sumber air sewaktu bel pertanda istirahat telah berbunyi.

Selanjutnya, Lia mengikuti langkah Yana dan Rachel di belakang. Rasanya aneh kalau ia berjalan beriringan dengan keduanya seperti dulu.

Baiklah, Lia tidak bisa menyangkal dan menghindari fakta bahwa ia sendiri pun sangat merindukan interaksi mereka bertiga. Namun untuk kembali seperti awal lagi, Lia akui dirinya tidak akan bisa.

"Mau gue pesenin?" Tawar Yana.

Lia merasa trauma kecil atas kejadian semalam. Maka ia dengan segera menggeleng keras, menolak mentah-mentah. "Nggak. Aku mau pesen sendiri."

"Loh? Gue tau kok yang mau lo pesen. Satu porsi nasi goreng sama jus jeruk, kan?" Tebak Yana. tidak melesat.

Lia mengerjap pelan, "Iya, tapi aku mau pesen sendiri."

"Tapi Lia—"

"Yana." Lia menegur dengan nada serius, membuat Yana mau tak mau mengatupkan bibirnya rapat. "Itu nggak bakal berhasil." Ujar Lia. Tau maksud Yana sebenarnya untuk memperbaiki hubungan Lia dan Rachel.

Yana sekarang merasa bersalah, apakah yang telah ia lakukan adalah sebuah kesalahan dan malah melukai Lia lebih dalam?

Sementara, Rachel yang berada di sisi kiri Yana hanya bisa diam dan sesekali membasahi bibir bawah yang tiba-tiba mengering.

Move OnTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang