17. Berjarak

659 117 67
                                    

Pagi hari yang cerah, bunga matahari yang tertanam di depan gerbang sekolah terlihat segar menghadap sang surya, semilir angin menyambut hari si gadis cantik yang tengah berjalan santai memasuki halaman sekolah, pepohonan rimbun yang tumbuh di sekitar pun bergoyang pelan seolah memberi sambutan selamat datang.

Tetapi sepertinya kondisi tubuhnya sekarang sama sekali tidak bersahabat dengan suasana pagi hari ini. Mata yang biasa menatap penuh kehangatan itu kini berubah sayu dan membengkak, kantung matanya terlihat lumayan jelas, ujung hidungnya sedikit memerah.

Padahal Lia sudah memoleskan bedak lebih banyak daripada hari-hari lalu, tapi tetap saja semua tidak bisa disamarkan dengan baik.

Semalam, dia menangis sampai beberapa jam. Larut malam. Didukung pula sama suara hujan. Jujur saja, Lia bukan orang yang bisa menunjukkan rasa sakitnya terang-terangan pada semua orang. Ia malah lebih memilih untuk melampiaskan semua dengan air mata, tentunya pada saat dia sedang sendirian.

Lembaran tissue sudah banyak dia gunakan untuk menghapus jejak air mata. Bahkan berserakan di bawah lantai kamar. Setelah puas menangis, dia langsung tertidur pulas. Lia lupa, seharusnya ia menyempatkan waktu untuk mencuci muka terlebih dahulu setelah menangis.

Jadi hari ini, Lia akan lapang dada menerima kecerobohannya tadi malam.

Saat sepatu Lia menapak di lantai koridor, anak-anak menyambutnya dengan berbagai ekspresi. Ada yang tidak peduli, kebingungan, bahkan ada yang mengira bahwa ia barusan di rampok sewaktu dalam perjalanan ke sekolah.

Karena Lia ingin menutup kuping dari semua orang, maka ia tidak akan meladeni atau hanya sekedar menebar senyum seperti biasa. Wajah ramah itu tengah bersembunyi, dan kini yang terlihat hanya wajah tak bermimik. Membuat tampilan Lia berubah 180°.

Kala ia berbelok ke koridor, seseorang menabrak tubuh mungilnya hingga ia terpaksa mundur beberapa langkah sembari memegang dahi yang sempat berbenturan dengan dada orang itu.

"Aw!" Aduhnya kesakitan.

Lia heran, harusnya orang tersebut langsung meminta maaf. Tapi dia hanya diam tak membuka suara, padahal tubuhnya masih berdiri tegak tepat di depan Lia.

Mau tak mau Lia mendongak, melihat siapa gerangan yang tidak bertanggung jawab.

Dia Nares Adhinatha.

Nares ada disana. Tahu apa yang tengah dia lakukan setelah tidak sengaja menabrak si gadis? Memandangnya dalam diam. Ah sungguh, Lia sungguh membenci tatapan teduh itu. Tatapan yang dulu pernah Lia gilai, namun tatapan itu juga yang sengaja menyakiti.

Beberapa detik mereka habiskan untuk saling bertukar pandang, hingga akhirnya Lia memutuskan kontak mata lebih dulu saat Nares mengambil satu langkah untuk maju lebih dekat dengannya.

Lia mengalihkan pandangan ke lapangan utama sekolah, entah apa yang dia pandangi, yang jelas Lia berusaha untuk tidak menciptakan kontak mata lagi.

Dalam hati, ia mengutuk kakinya yang sulit di ajak bekerja sama. Lia bisa saja pergi menghindar, tapi sepertinya kedua kakinya memilih bertahan disini.

"Lia..." Panggil Nares pelan, tatapan mata indah itu semakin meneduh saat menyadari kalau Lia tidak mau menatapnya.

Nares menelan saliva susah payah, mendadak susah bicara. "Boleh minta waktu buat bicara sebentar—?"

"Yana!"

Belum selesai Nares bertanya, Lia sudah memotong. Untung saja dia menangkap keberadaan Yana bersama Jafran yang tak jauh dari pintu masuk kelas.

Move OnTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang