bab 35

15.9K 2.3K 334
                                    

Komen dan vote sangat diperlukan

Selamat membaca

****

"mulai sekarang Ivy panggil papa dengan sebutan papa. Bukan papa dokter lagi," ucap Arlan sambil berjalan menuju lift ke ruangan anggrek.

Arlan sedang menggendong Ivy di tangan kirinya sedangkan tangan kanannya tengah memegang plastik berisi nasi kotak tadi. Pasti Ivy rindu dengan ibunya terlebih saat acara tadi sampai saat ini Ivy belum ketemu dengan araya.

"Papa dokter." Ivy malah kebingungan sendiri.

Arlan menggelengkan kepalanya. "Bukan papa dokter sayang tapi papa." Arlan berusaha mengajari Ivy. "Ayo coba bilang papa."

"Papa dokter."

Lagi-lagi Ivy malah menyebut papa dokter membuat Arlan gemas sendiri. Terlebih lagi ekspresi wajah Ivy yang kebingungan menambah kegemasan Arlan.

Arlan segera masuk ke lift khusus itu sambil cemberut. Tapi dia tak akan pernah menyerah.

"Ayo coba sekali lagi." Arlan masih berusaha. "Papa."

Kedua mata Ivy yang bulat bagai boneka itu menatap wajah Arlan. "Pa, papa...," Ivy agak menjeda ucapannya seperti orang berpikir. Arlan sekarang yang malah jadi kebingungan.

Bukankah anak usia dua tahunan sedang berada di masa emas? Banyak ibu-ibu muda mengeluhkan anaknya yang terlalu mudah mengikuti ucapan orang. Seharusnya Ivy seperti itu, begitulah yang Arlan pikirkan.

"Papa dokter," seru Ivy girang sambil mengangkat kedua tangannya ke udara seolah apa yang diucapkannya benar.

Arlan yang benar-benar merasa gemas dengan Ivy langsung menggesek hidungnya dengan hidung Ivy. Bocah cilik itu malah tertawa senang.

Pintu lift terbuka dan Arlan telah berada di ruangan anggrek.

"Papa, sayang. Hilangin dokternya." Kali ini Arlan masih berusaha. Moga saja berhasil.

"Papa," sebut Ivy sambil tersenyum lebar.

Hati Arlan langsung menghangat. Akhirnya Ivy menyebutnya dengan panggilan papa. Sepertinya Ivy memiliki bakat Gevan yang suka menjahili orang. Arlan harus hati-hati agar Gevan tak mengajari Ivy hal-hal tak baik.

Arlan membuka pintu ruang rawat Araya. Kedua matanya langsung melotot tajam saat dia melihat araya tengah memakan makanan rumah sakit.

"Mama," jerit Ivy senang melihat Araya.

Araya sedikit kesusahan untuk menyendok sayur yang ada di dalam wadah makanan itu.

"Siapa yang antar makanan ini?!" Tanya Arlan dengan nada tak bersahabat. "Kalau kamu kesusahan makan, tekan bel yang ada di situ. Suruh perawat telp saya, apa susahnya araya."

Arlan benar-benar kesal, araya jelas kesusahan makan dengan bahu terluka seperti itu dan malah di tinggal sendiri.

"Saya bisa dok," sahut araya pelan.

Arlan meletakkan Ivy di sebuah kursi yang berada di sebelah ranjang Araya.  "Ivy di sini dulu ya, papa mau suapin mama dulu."

Araya melotot horor saat mendengar kalau dokter Arlan akan menyuapkan makanan itu.

"Kamu pilih yang mana, saya suapin dengan sendok atau from mouth to mouth," tawar Arlan sambil menatap datar ke arah Araya sedangkan araya menatap Arlan dengan tatapan horor.

"Opsi pertama saja dok," jawab Araya karena ia masih sangat sayang dengan jantungnya.

Arlan tersenyum miring dan tanpa aba-aba mencuri ciuman lagi di bibir araya untuk ketiga kalinya. "Sekali lagi kamu panggil saya dengan dokter, saya pastikan kamu akan mendapatkan hukuman dari saya."

The Best Part (Completed) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang