bab 5

19.6K 1.9K 53
                                    

Sudah di revisi + penambahan kata

Vote + komentar ❤️

####

Araya mengernyitkan dahinya saat mendengar pernyataan Gevan yang sangat bertolak belakang dengan sikap Gevan pada dokter Arlan. Walaupun Rion mengganggunya saat ini, menikah bukanlah solusi yang tepat. Terlebih lagi pemikiran sepihak Gevan jelas membuat rasa tak nyaman menjalar dalam dada Araya.

"Gev?" Panggil Araya pelan. "Kamu sarapan apa tadi pagi?"

"Aku sarapan roti, kenapa?" Tanya Gevan bingung. Pertanyaannya Araya sumpah random banget.

"Kamu beneran gak keracunan kan? Kamu udah cek tanggal kadaluarsa rotinya kan?" Tanya Araya bertubi-tubi pada Gevan.

Araya benar-benar bingung, sikap Gevan membuatnya semakin bingung. Araya sangat tahu jika Gevan tak menyukai Arlan dan Gevan tak mungkin mengatakan hal seperti itu dengan meminta Araya menikah dengan Arlan.

"Iya udah. Kamu kenapa sih Ray?" Gevan mengernyitkan keningnya. Jangan-jangan Araya berpikir jika dirinya tengah kesambet. "Aneh banget."

"Kamu tuh yang aneh," sambar Araya cepat. "Bukannya kamu gak suka dengan dokter Arlan dan malah kamu sendiri yang menyuruh aku menikah dengan dia." Nafas Araya memburu, dadanya terasa sesak entah karena apa.

"Gevan, aku belum sampai tahap sefrustasi itu sampai kamu menyodorkan aku ke dokter Arlan." Dada Araya bergemuruh, sesak dan menyakitkan. "Gev, aku sadar diri dengan posisi ku. Siapa dokter Arlan dan siapa diriku. Aku gak bisa meminta hal-hal di luar nalar ku. Aku bahagia memiliki Ivy." Araya berusaha mengatur ritme nafasnya yang terasa sesak. Setelah berhasil menetralkan ritme nafasnya, Araya mencoba tersenyum tipis. "Jika kamu merasa berat menjaga Ivy, aku akan ambil alih menjaga Ivy dengan kedua tangan ku mulai saat ini."

"Ray, bukan itu maksudku." Suara Gevan terdengar berat. Bukan itu maksud ku Ray, bukan itu.

"Setelah rapat selesai, aku akan menjemput Ivy. Terimakasih udah menjaga Ivy selama ini. Assalamualaikum." Araya pun mematikan sambungan telponnya.

Araya memandangi layar ponselnya lalu ia memasukkan ponselnya ke dalam tas. Araya mengabaikan panggilan telpon dari Gevan. Kenapa orang-orang di sekitarnya begitu sibuk dengan pasangan hidupnya. Terlepas hal itu demi kebaikannya, seharusnya mereka mencoba sedikit memahami perasaan Araya saat ini. Menikah bukan solusi yang Araya butuhkan karena prioritas utamanya adalah membesarkan Ivy hingga anaknya sanggup dan mampu mengahadapi dunia yang kejam.

***

Arlan melihat ke arah Gevan yang sepertinya tampak kacau setelah selesai bertelponan ria dengan Araya. Wajah Gevan tampak tertekuk ke bawah sembari menatap ke arah ponselnya. Pertengkaran antar saudara dan seharusnya Gevan tak sedramatis itu, begitulah yang Arlan pikirkan.

Arlan juga sering adu pendapat dengan adiknya walaupun Lili sering berada di pihak yang kalah. Tapi adiknya tak pernah menunjukkan raut wajah frustasi seperti itu. Yang ada malah sebaliknya, adiknya akan mengadu pada mamanya dan berakhir dengan Arlan yang dapat Omelan.

Setelah Ivy lahir, barulah Arlan mengetahui jika Gevan adalah saudara kembar Araya. Selama ini Arlan berpikir kalau Gevan adalah pria posesif yang tak tahu diri yang mengekor keberadaan Araya jika wanita itu tengah kontrol kehamilan. Ternyata segala asumsinya salah di tambah lagi paman Rama tak pernah menceritakan apapun mengenai Gevan. Dan Arlan juga terlalu malas untuk mengorek informasi yang tak berguna bagi pekerjaannya.

"Papa dokter, Ivy lapar." Ivy memegang perutnya yang mulai keroncong.

Arlan pun menatap kedua mata Ivy dan sedikit tersenyum. "Ivy mau makan apa?"

The Best Part (Completed) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang