Bab 6 - Panggilan Misterius

72 19 24
                                    

Aku berbaring di atas kasur sambil kedua tanganku memegang sebuah kertas

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Aku berbaring di atas kasur sambil kedua tanganku memegang sebuah kertas. Mataku terus menelaah lebih lanjut foto di tanganku yang telah aku cetak selepas kembali dari sekolah.

Foto candid Allegra yang sempat kuambil. Membuat kepalaku pening dengan apa yang dihasilkan oleh kamera kepunyaanku ketika memotret pemuda itu.

Potret dirinya sehari yang lalu membuatku bertanya-tanya dengan apa yang telah terjadi. Kenapa bisa kamera itu menghasilkan gambar yang seharusnya tidak kujepret. Padahal kemarin saja aku bertemu dengannya melalui keadaan di mana memori kameraku hampir habis sehingga diriku tidak bisa terlalu banyak mengambil gambar. Mana mungkin aku sempat memotret Allegra, apalagi dirinya saat itu tengah kesusahan.

"Tapi emang ada ya kamera yang bisa lihat begituan?"

Aku merenung cukup lama dengan keanehan yang terjadi. Tubuhku sedikit menyerong untuk melihat kamera kepunyaanku yang tersimpan di atas nakas--samping tempat tidurku.

Ada apa dengan kamera ini?

Aku mengembuskan napas kasar. Mencoba memijat kepalaku dengan kedua jari milikku. Aku sudah sangat lelah memikirkan hal itu, namun di sisi lain diriku juga penasaran dengan apa yang telah terjadi.

Apa kamera ini memiliki satu sihir untuk melihat masa lalu seseorang?

Pemikiran itu terlintas begitu saja di otakku. Sontak aku langsung menggelengkan kepalaku. Mencoba membuyarkan kembali semua hal aneh yang telah kupikirkan untuk mendapatkan jawaban.

Mana mungkin kamera itu memiliki keajaiban, 'kan?

Toh, sudah hampir satu Minggu aku pakai terus-menerus hasil jepretannya malah biasa-biasa saja. Hanya kepada pemuda itulah yang tiba-tiba saja berubah.

Aku beranjak bangun dari posisiku tertidur tadi. Tanganku mengambil kamera tersebut. Aku melihat detailnya kembali.

Mulai dari ukiran di sisi kamera serta lensa cembung yang terpasang di sana. Bahkan layar digital yang berwarna hitam sepenuhnya karena kamera itu telah kumatikan pun terlihat normal. Beberapa tombol yang bisa ditekan pun kurasa memang terpasang dengan rapi. Tak ada satu keanehan yang terselubung pun di sana.

Apa yang salah?

Aku menggeram frustrasi. Tanganku melempar begitu saja kamera yang kucintai serta foto Allegra ke atas tempat tidur yang sedang aku duduki.

Aku mulai turun dari atas kasur. Melangkah pelan mendekati meja belajar yang terletak tak jauh dari tempatku mengistirahatkan tubuh tadi. Terdapat satu foto masa kecil antara aku dan juga Angga yang tersimpan rapi di dekat sebuah laptop.

Everything Will Be Fine Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang