Hingga waktu silih berganti, segala kecemasan belum juga memudar. Bahkan pada saat mentari mulai menghilang dari langit oranye penuh awan hitam, orang yang kutunggu belum juga memunculkan batang hidung setelah pergi lebih dari satu jam.
Tetes-tetes air bekas hujan masih banyak menanggung kemalangan dengan genangan lebar yang hampir memenuhi seisi lapangan menuju gerbang sekolah di depanku.
Hawa dingin terasa. Membuat tubuhku gemetar kecil karena seragam sekolah yang kini kukenakan belum dapat menangkal sejuk yang menusuk kulit hingga menggerayangi seisi tubuh.
Sayup-sayup, suara langkah kaki terdengar berirama. Saling bersahutan menyapa indra pendengaran dengan dersik angin yang terus bernyanyi meramaikan sore yang hampir berganti malam.
Kepalaku berpaling melihat di mana arah suara itu berasal. Dari lorong panjang di belakangku, ada Angga juga Allegra yang berjalan ke arah lobi sekolah sambil menggendong tas ransel milik mereka masing-masing.
Kedua orang itu terlihat saling berjauhan, melangkah penuh hentakan di tengah kesunyian sekolah.
"Aleana!"
Setelah mata kami berdua saling bertemu, Angga berteriak memanggil namaku hingga suaranya memenuhi seisi koridor. Pemuda itu berlari melewati Allegra di depannya, senyum hangat terlihat hingga jarak antar kita semakin terlipat.
Kepalaku mengikuti ke mana arah pemuda itu mulai menghentikan langkahnya. Dia berhenti, membelakangi lapangan di depanku.
"Maafkan aku, ya." Suara Angga terdengar sedikit pelan. Pemuda itu termengah-mengah hingga memperlihatkan dadanya yang kembang-kempis.
Setelah berhasil menyesuaikan kembali pernapasannya, remaja laki-laki di depanku menyentuh pelan pelan kedua pundakku sambil memasang senyuman paling manis yang coba ia tunjukkan. Meski kulihat kedua pupil mata hitam legam di depanku hampir tenggelam seutuhnya, pemuda dengan alis tebal yang hampir menyatu itu mencoba menyembunyikan lebam biru di keningnya bersama helai rambut yang bergantungan menutupi hampir seisi dahi.
Aku balas menyimpul senyum, seraya memukul pelan perut rata Angga hingga kemudian tertawa setelahnya.
Kubalas dengan senyum tipis, seraya memukul pelan perut rata Angga hingga aku tergelak setelahnya.
"Aduh, duh ... sakit heh!" Dia berseru sembari berlagak memegang perut dengan pipi menggembung.
"Habisnya sih, kamu selalu mencari gara". Tapi ...," ucapku menggantung, ragu mengatakan hal selanjutnya.
Tanpa kusadari Angga memajukan kepala hingga jarak kami terkikis banyak. Sebelah alis pemuda itu terangkat, seraya kembali memperlihatkan senyum penuh pesona di atas wajah tampannya.
"Tapi apa?" tanyanya jenaka.
"Apa kamu baik-baik saja?"
Dia tertawa nyaring setelah mendengar pertanyaan dariku. Tangannya kembali menepuk puncak kepalaku hingga helai demi helai rambut bergantungan menutupi mata.
"Kamu masih meragukan skill bela diriku, hum?" balas pemuda itu. Dirangkulnya pundakku sebelum berbalik mengajak berjalan santai keluar dari gedung sekolah.
Aku menggeleng cepat. "Ma-maksudku bukan begitu—" sial, suaraku bergetar. "P-pokoknya nanti aku laporkan ke mamahmu!"
Angga sontak mencubit hidungku kencang. "Bukan aku yang salah tahu!"
"Tapi kan, kamu duluan yang menyerang Allegra tadi."
"Aku hanya melindungi sahabatku dari orang seperti—"
Di tengah perbincangan kami berdua, kulihat Allegra melewati aku dan Angga tanpa sepatah kata pun. Ia berjalan arogan sambil memegang tali tasnya dengan sangat erat. Pemuda itu, berdiri mematung di depan lobi sekolah entah sedang melakukan apa.
"Katamu kamera ini dapat memotretnya?" Angga berbisik pelan.
Aku mengangguk tanpa lepas memperhatikan keberadaan pemuda di depan sana.
"Kenapa tidak coba saja memotretnya kali ini?" Pemuda di sampingku bertanya. "Penyimpanan kartu memorimu masih banyak, bukan?"
Benar, untuk mengetahui jawaban dari pertanyaan aneh dan mimpi tadi aku harus banyak memotretnya. Buru-buru, aku melihat kamera yang talinya masih menggantung di leherku. Tanpa basa-basi, aku mulai memegang kamera tersebut lalu mengarahkannya tepat ke arah di mana Allegra sedang berdiri.
Suara shutter kamera terdengar. Berbarengan dengan foto pertama yang kuambil terabadikan.
Melihat Allegra yang nampak seolah tak memperhatikan keberadaanku dan Angga di sini, aku pun mulai kembali menekan tombol kecil di atas kamera hingga menghasilkan puluhan suara shutter.
Belum genap seratus aku memotretnya, tiba-tiba mobil sedan hitam berhenti di depan pemuda tersebut. Mobil yang pernah kulihat sebelum Allegra menjadi siswa resmi di sekolah ini.
Aku menurunkan kameraku. Mengajak Angga berjalan yang kini kulihat seluruh wajahnya mulai berwarna merah padam. Dengan bertingkah seolah aku dan Angga hanyalah dua murid yang ingin keluar dari sekolah, tak luput membuatku mengalihkan perhatian dari seseorang yang berada di dalam mobil tersebut.
Aku mendengar pria itu mulai berbicara kepada Allegra. Meski tak kupahami betul topik apa yang sedang dibicarakan dengan Allegra karena Angga menarikku sedikit menyingkir dari tempat pemuda itu berdiri kaku, namun dapat kusimpulkan jika percakapan itu adalah suruhan masuk ke dalam mobil karena setelahnya Allegra benar-benar memasuki mobil itu.
Beberapa meter lagi kami berdua menuju parkiran sekolah. Sedan hitam tadi terlihat sudah pergi meninggalkan lapangan dengan Allegra yang juga ikut di dalamnya.
Angga menepuk pundakku. Aku melirik ke arahnya, menatap wajah pemuda itu dengan alis terangkat.
"Kenapa kamu malah termenung?"
Kepalaku menggeleng. Menimpali perkataan Angga hingga terbesit satu pertanyaan yang ingin aku ajukan kepada pemuda di sampingku.
"Kenapa ketika melihat Allegra kamu begitu sangat membencinya?"
Angga mengerutkan alisnya. "Memangnya aku terlihat seperti itu?"
Aku mengangguk. Kemudian pusat perhatianku teralih dengan motor Angga yang terparkir beberapa meter di depan sana.
"Kamu belum tau saja tingkah lakunya."
***
A/N:
Chapter dua belas. Untuk beberapa part sebelumnya bakalan aku revisi total, oke ;D
Silakan bagi yang ingin baca ulang bisa kembali ke prolog. Atau gak mau pun ya tidak apa-apa, soalnya cuma revisi typo dan head hopping.
Oh, iya. Chapter ini belum direvisi T T.
rifuriqi 👽🐙
KAMU SEDANG MEMBACA
Everything Will Be Fine
Mystery / ThrillerCERITA INI DIIKUTSERTAKAN DALAM 1ST ANNIVERSARY ANFIGHT BATCH 8 . . Aleana Wulandari merupakan seorang photoholic sejak pertama kali ayahnya memberikan kamera sebagai hadiah ulang tahun yang keenam belas. Anak baru yang duduk di kursi bagian belakan...