Selama beberapa jam terakhir, isi pikiranku masih berporos kepada puluhan foto yang telah dicetak. Berjejer rapi dengan keseluruhan gambar yang hampir merata didominasi oleh warna hitam.
Menurutku, yang paling jelas terlihat adalah potret keseharian Allegra. Meski sedikit kabur, itu adalah satu-satunya foto yang terlihat berbeda. Memiliki warna kontras dengan puluhan foto yang lain. Terdapat Allegra di sana, sedang berdiri membelakangi lensa kamera, menghadap sebuah pintu kayu berwarna cokelat gelap.
Aku tak tahu pasti pintu tersebut akan menghubungkan ke mana. Karena setelah itu, beberapa potret berikutnya berubah menjadi gelap. Tak ada cahaya sedikit pun di setiap fotonya.
Kecuali, satu gambar yang sangat menarik untuk ditelaah. Potret Allegra yang sedang duduk diam memendam kepalanya di atas lutut, berada di dalam ruangan temaram dengan sinar remang-remang. Tak ada yang terlihat aneh memang. Tapi setelah foto itu diperbesar, ada sesuatu lain di sebelah kaki pemuda tersebut. Sesuatu yang tidak terlihat jelas karena minimnya cahaya.
Ah, memikirkan semua itu membuatku tak dapat duduk dengan tenang. Selalu dan selalu saja terbebankan di kepala dengan berbagai macam pertanyaan mengambang tanpa satu pun memiliki jawaban. Keingintahuan ikut andil seolah menahanku dengan berbagai macam rantai yang siap terpasang lebih kapan saja jika aku semakin dalam mengetahui semua misteri itu.
Namun, aku tak dapat berkutik. Semua ini bahkan sudah terlampau jauh untuk kembali. Jika bukan aku orang yang menyelesaikan untuk mencari jawabannya, lantas siapa lagi?
***
Ruangan yang terhubung langsung dengan dapur itu berlantai marmer. Menambahkan kesan luas bersama downlight warna kuning temaram yang menyala.
Melalui tembok dicat keseluruhan dengan warna putih, terdapat lukisan abstrak besar yang dipasang dekat dengan meja makan hingga memperlihatkan sisi minimalis.
Pada saat ini, di dalam ruangan tersebut ada aku yang sedang duduk termenung memperhatikan sisa-sisa makanan di atas piring, masih tergeletak begitu saja tanpa ada yang membersihkannya.
Setelah makan malam usai, beberapa kursi di sekeliling meja makan terlihat kosong. Tak ada yang menempati karena hanya aku seorang yang kini masih berada di ruang makan setelah Mamah memutuskan untuk pergi lebih dulu menuju kamar.
Di dalam benakku, kejadian tadi siang masih berputar. Merekam kembali tiap adegan hingga ingatan tentang wajah teduh Allegra terus tersimpan.
Seolah tak pernah habis laki-laki itu menerorku dengan berbagai macam rahasia yang ia punya. Meluluhlantakkan semua kedamaian yang ada, bahkan menjebakku ke dalam arus sungai keingintahuan.
Hasil jepretan tadi memang tak memiliki petunjuk lebih detail sedikit pun. Aku masih bingung dengan apa yang ia lakukan sehingga keseluruhan foto hanya nampak gelap seolah tak mau ada orang yang mengetahui keberadaannya.
Jika itu semua menyangkut dengan mimpi tadi di kala pingsan, apa mungkin semua yang terjadi kepadanya memang sangat begitu berat?
"Tapi kenapa mimpi itu terlihat aneh?"
Entah kepada siapa aku bertanya, pertanyaan itu tiba-tiba saja keluar dari mulutku. Berapa kali aku harus membuat kepala terasa pusing karena memikirkan hal itu.
Bahkan kamera favoritku yang telah tersimpan di atas meja belajar pun tidak pernah diketahui asal mula keberadaannya. Yang kutahu, kamera tersebut Ayah beli di salah satu rekan kerja segkaligus teman masa kecilnya.
Ayahku tak memberikan penjelasan lebih lanjut. Bahkan setelah ia pergi ke luar kota untuk beberapa Minggu ke depan pun belum ada penjelasan lebih detail.
Semua itu menjadi satu kesatuan. Membuat banyak sekali pertanyaan untuk kucari jawabannya. Jika saja satu di antaranya bisa terungkap lebih dulu, semua pertanyaan setelahnya juga akan ikut terungkap dengan sendirinya.
Di tengah keheningan, nada dering ponsel milikku yang tersimpan di atas meja makan berbunyi. Memecah senyi yang mendalam juga ikut meramaikan keterkejutan.
Nomor tak dikenal.
Aku terdiam memperhatikan deretan nomor asing tersebut. Membuat tubuhku bergetar karena takut jika pemilik nomor itu adalah orang yang pernah menerorku dua kali sebelumnya.
Buru-buru aku menekan tombol merah. Berharap jika panggilan berakhir orang di seberang sana mengerti jika aku telah benar-benar merasa terganggu.
Namun, belum ada semenit aku memutuskan panggilan telepon itu. Tiba-tiba, nomor tersebut meneleponku lagi saat ini.
Aku semakin membeku di tempat. Memperhatikan apa yang tengah terjadi dengan layar ponselku yang terus menyala menampilkan panggilan masuk dari nomor tersebut. Berbagai cara telah kupikirkan untuk menghindar dari penelepon misterius itu. Terbesit satu ide di kepala. Apa aku diamkan saja?
Kemudian, aku pun hanya menyaksikan layar ponsel kepunyaanku yang mulai memudar setelah panggilan masuk itu berakhir.
Belum juga jera, nomor tersebut kembali menelemponku hingga beberapa kali setelahnya.
Aku mulai kesal meski rasa panik masih menerpa. Mungkin jika aku menjawabnya untuk sekali orang itu akan terdiam?
Dengan sangat hati-hati aku menekan tombol berwarna hijau yang ada di layar. Sekali terangkat, detik waktu bertambah yang ditampilkan membuatku berpikir panjang dengan apa yang akan terucap oleh orang di seberang sana.
Tak ada suara. Seperti pertama kali aku menerima telepon dari peneror misterius itu. Apa jangan-jangan ini memang orang yang sama dengan peneror tadi siang?
Karena tak ada sedikit pun suara yang keluar. Aku pun memulai percakapan, berharap orang itu menjawab tanpa membuat penasaran sedikit pun.
"Halo?"
Satu detik ....
Dua detik ....
"To–tolong aku."
Suara laki-laki terdengar dari seberang sana. Membuatku mematung di tempat karena mengenali suara tersebut.
Dia, Angga.
***
A/N:
Aku belum ada revisi, sih. Tapi sekalian revisi nanti aku tambah dialog juga wkwk.
rifuriqi 👽🐙
KAMU SEDANG MEMBACA
Everything Will Be Fine
Mystery / ThrillerCERITA INI DIIKUTSERTAKAN DALAM 1ST ANNIVERSARY ANFIGHT BATCH 8 . . Aleana Wulandari merupakan seorang photoholic sejak pertama kali ayahnya memberikan kamera sebagai hadiah ulang tahun yang keenam belas. Anak baru yang duduk di kursi bagian belakan...