Bab 9 - Aku Takut

73 18 8
                                    

Bagiku, melakukan kontak langsung dengan orang yang tak pernah dekat adalah sebuah kesalahan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Bagiku, melakukan kontak langsung dengan orang yang tak pernah dekat adalah sebuah kesalahan. Suatu pantangan yang harus kuhindari bahkan untuk teman perempuanku sekali pun.

Namun, Allegra dengan kedatangannya mematahkan segala dinding yang telah aku bangun. Membuatku merasakan sesuatu yang tak pernah bisa tergambarkan bahkan hanya dengan sekali jepretan.

Dia menuntunku melihat sisi di hidupnya yang tak pernah orang lain lihat. Salahku, orang yang pertama kali menatapnya dengan segala macam tanda tanya. Sudah terlampau jauh untuk menghindar, bahkan jika hanya sekadar berdiri dalam diam menunggu semuanya kembali seperti semula, semua itu pada akhirnya akan sia-sia.

Detik silih berganti. Bergerak demi menemui setiap menit untuk dapat menjangkau persekian jamnya. Seolah waktu melambat, pikiranku tersihir masuk ke dalam lamunan tanpa akhir sembari menyaksikan kegiatan pemuda di depanku.

Dengan tingkah yang kembali seperti hari-hari lalu pada saat aku tak membawa kamera. Allegra, aura dingin yang sangat pekat di sekitar tubuhnya menyeruak masuk hingga membuat siapa pun takut akan lirikan tajam pemuda bermata elang itu.

Sinar mentari mengisi sebagian meja di sisi kelas yang kosong karena telah ditinggalkan oleh pemiliknya. Siang ini, aku duduk di bangku yang berhadapan langsung dengan pemuda di depanku. Mencoba menemaninya, takut-takut jika semua yang terjadi tadi pagi kembali menyerang Allegra. Meski kutahu, sepertinya ia melakukan itu karena takut dengan kamera.

Aku memperhatikan remaja laki-laki itu yang sedang menyuapkan setumpuk roti isi tanpa mengucapkan sepatah kata pun ketika dia mengoreksi kembali lembar jawaban ulangan harian matematika miliknya. Meski hanya angka seratus yang terpampang di kolom nilai, dia berusaha lebih dan lebih lagi mencari seinci pun kesalahan yang kulihat memang tidak ada. Tanpa memedulikan orang di sekitarnya, pemuda itu mulai berlagak kembali seolah hanya dialah satu-satunya makhluk hidup yang berada di dalam kelas ini.

Aku mencolek pelan tangan kokoh remaja laki-laki di depanku. Meski tak terdengar jawaban suara sedikit pun, namun, kulihat mata berpupil cokelat gelap itu menatapku dengan satu alis yang terangkat seolah bertanya apa yang ingin aku katakan.

Mengurungkan niatku bertanya kenapa ia sangat ketakutan ketika melihat kamera, aku pun memegang perutku yang mulai berbunyi seperti tanda bahwa lapar telah bersarang di dalamnya.

"Aku lapar," kataku. Menatapnya memohon sambil mengusap ulang perut yang telah berbunyi hanya untuk memberikan alasan agar dia mau mengantarku menuju kantin.

Allegra tak bersuara. Raut dingin yang terpampang jelas di wajahnya sedikit pun tak berubah bahkan ketika pemilik wajah tampan itu sedang mengusap pelan peluh yang hampir menetes di sana.

Sekali lagi, aku hanya dapat menatapnya dengan sebal. Menyenderkan tubuhku ke senderan kursi sambil kedua tangan terlipat di depan dada. Menghela napas sebelum akhirnya mataku terpejam dan hanya gelaplah yang menjadi pusat perhatianku kali ini.

Sebuah benda tiba-tiba mulai memaksakan masuk ke dalam bibirku. Aku terkejut, kubuka kedua kelopak mata sebelum akhirnya jantungku berdetak melihat apa yang terjadi di depanku.

Kedua tangan Allegra menjulur mencoba memasukkan sedotan berwarna putih kecil dengan susu kotak rasa strawberry yang tertancap di ujung bawah sedotan itu.

Aku melihat mata teduhnya dengan binar terlihat cemerlang di sana. Dengan raut serupa yang tadi ia keluarkan, salah satu sudut bibir merah merona itu bergerak melengkung hingga pada akhirnya membuatku terpatri di tempat untuk waktu yang cukup lama.

Aku menyedot susu kotak tersebut. Kulihat tatapan Allegra tak lepas dari wajahku, membuat otakku dengan sengaja memproses untuk ikut hanyut menatapnya meski hatiku berkata lain. Kami berdua saling bersitatap sebelum akhirnya seluruh isi susu kotak tersebut telah sepenuhnya masuk ke dalam perutku. Terasa sudah sedikit mengganjal meski tak dapat mengenyangkan dengan sempurna.

Wajahku panas, buru-buru kuraup kembali banyak oksigen untuk dapat menetralisirkan detakan jantungku yang terdengar berdetak sangat cepat.

Allegra yang kini sedang merapikan dasi hanya dapat menahan tawanya setelah menggodaku barusan. Aku memukul tangannya dengan keras meski kutahu bagi pemuda itu pukulanku bukanlah sesuatu yang menyakitkan.

Aku ikut tersenyum melihat raut wajahnya yang seketika mulai berubah menjadi hangat. Fitur wajah yang terasa kurindukan meski aku tau pertemuan kami barulah terjadi satu minggu yang lalu.

Sebuah panggilan membuatku menolah. Kulihat Angga dengan raut wajah kesal yang sedikit memerah karena kulit putih bersihnya itu menatapku tajam sambil berjalan mendekat ke arah kami berdua.

Dia mengentak-entakan langkahnya hingga Angga berdiri sejajar dengan meja yang memisahkanku dan Allegra.

Angga menatapku dengan saksama. Bibirnya bergerap untuk berucap sebelum akhirnya aku berdiri menariknya menjauh dari Allegra yang kini sedang menatap pemuda di sampingku dengan alis berkerut. Aku hanya dapat membalikkan kepala menatapnya dengan isyarat permintaan maaf yang keluar dari mulutku meski tanpa suara sedikit pun.

Aku membawa Angga keluar dari dalam kelasku hingga membuatnya benar-benar berada jauh dari tempat Allegra kini berdiri.

Kedua tanganku bergerak menyentuh pipi tirus pemuda di depanku. Dengan ekspresi serius yang sedang berusaha kupasang, diriku menjelaskan apa yang terjadi sehingga aku dan Allegra bisa duduk berhadapan tadi di waktu istirahat kedua.

"Tadi aku mencarimu hingga mengelilingi seisi kantin, kukira kamu memang sengaja menghindariku. Rupanya, aku yang salah mengiramu."

Kulihat wajah Angga yang sudah sangat merasa bersalah. Kepalanya tertunduk mencoba menghindari kontak mata langsung denganku.

"Maafkan aku," katanya. Dengan suara yang sedikit pelan di tengah sepinya koridor menuju kelasku.

Tiba-tiba, ponsel yang ada di sakuku berdering. Membuatku mengambilnya lalu mencoba melihat kembali deretan nomor yang terpampang di sana.

Aku melirik sekilas ke arah Angga sebelum akhirnya kuangkat panggilan tersebut.

"Hapus foto itu."

Suara yang kemarin lusa kudengar tiba-tiba membuatku kembali terdiam di tempat. Tubuhku bergetar, nomor yang hari ini menghubungiku memang terlihat berbeda dengan nomor telepon sebelumnya. Namun, dapat kupastikan jika ini adalah satu orang yang sama.

Angga menatapku panik. Dia langsung mengambil ponsel di tanganku sebelum akhirnya menempelkannya di telinga.

Wajah pemuda itu seketika memerah. Ia terlihat marah.

Everything Will Be Fine Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang