Epilog

81 8 2
                                    

Gerimis kecil baru saja turun ke Bumi setelah gundukan tanah merah terlihat bersama batu nisan yang tersemat nama Allegra Reinaldi.

Aroma kasturi tercium dari arah rumah terakhir setelah pemuda itu benar-benar dikebumikan. Memperlihatkan taburan bunga, bersama botol air mawar yang ikut tertancap di atas gundukan tersebut.

Langit telah berlalu menjadi warna kelabu, menyisakan isak tangis yang terdengar pilu dari beberapa orang. Melambungkan duka sedemikian rupa, tanpa menyisakan satu pun senyuman yang terpatri.

Allegra telah beristirahat dengan damai, meyakinkan semesta untuk pergi setelah berpamitan panjang. Tiada menyangka, waktu berjalan cukup cepat setelah pertemuan singkat yang terjadi.

Benar-benar singkat, untuk kembali mengukir jarak. Jarak yang tak pernah aku tahu kapan akan kembali mengikis. Karena hanya tinggal kenangan yang terpatri di ingatan, seolah jemawa dengan tangisan yang mengalir keluar.

Terselip di dada rasa nyeri yang masih bersarang menemani air mata. Menyadarkanku dengan satu hal, bahwa aku benar-benar kehilangan setelah dia pergi untuk waktu yang tidak tahu kapan kembali.

"Dia bilang apa?" tanyaku parau diiringi isakan.

Angga di sisiku hanya meraung, menangis dalam pilu dengan tangan memukul pelan kepalanya.

"Dia minta aku menjagamu, untuknya." Nada suara Angga terdengar sendu. "Seharusnya dulu aku tidak berbuat seperti itu."

Semakin membuat tubuhku limbung di atas tanah, ucapan Angga memberikan sentilan kecil di dada. Memicu ingatan kembali memvisualisasikan kenangan lama ketika bersama dengan Allegra dalam langkah yang hampir beriringan.

Melihat pelayat telah bepergian satu-persatu, aku dan Angga ikut beranjak bangun. Sebelum Kak Dean memberhentikanku dengan wajah penuh duka, memberikan sebuah buku bersampul pesawat kertas, mengingatkanku dengan album foto yang sempat dibeli oleh Allegra ketika kami berdua singgah di dalam toko buku.

"Kata Dokter, pukulan di dada yang mengenai Allegra membuat kematian mendadak meskipun dia sempat koma beberapa jam." Kak Dean bergumam, lewat manik matanya aku dapat melihat penyesalan besar yang tersimpan.

Tanpa suara aku menyimpannya erat-erat pemberiannya di dalam genggamanku. Menuntun pergi langkah dengan bahu yang semakin berat tuk dibawa, memperlihatkan kembali daerah sekililing, hingga menyadari semua ini benar-benar nyata. Allegra telah tiada.

Jejak tersimpan di jalan yang dominan tanah, mengantarkan langkah ini untuk kembali setelah singgah di rumah penghormatan terakhir Allegra.

Air mata ini belum sepenuhnya terhenti. Mobil sedan hitam yang kerap kali pemuda itu tumpangi kini membawaku kembali menuju rumah bersama jeruji gelap yang menjadi sandarannya. Masih dengan rasa yang sama, hampa.

Bahkan dunia terasa tak memiliki perbedaan setelah kepergiannya. Langit menghitam, gemercik air hujan, hiruk pikuk perkotaan, serta bangunan yang serupa masih berdiri kokoh. Tiada yang berubah, pun kenangan yang sama telah lebih dulu menyelusup jiwa agar tiap detiknya berlalu seperti penantian tak berujung.

Tapi, satu hal yang membuatku terdiam dalam jangka waktu panjang selama perjalanan menuju tempat berpulang. Perasaan campur aduk, yang menyulut rindu mendalam dengan segala ketidakpastian tersimpan. Segala penyesalan, disertai amukan panjang nyeri di hati yang semakin membekas.

Aku melangkah pelan setelah mobil ini menghantarkanku kembali. Menatap lurus ke depan rumah bercat putih dengan gerbang hitam yang cukup tinggi.

Aku berjalan pelan memasuki tempat tersebut. Melewati perabotan rumah yang masih tertata rapi, kemudian memasuki kamar untuk membuka album foto yang sedang aku pegang.

Everything Will Be Fine Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang