Seharian ini isak tangis tak ada hentinya menggema hingga memenuhi seisi koridor rumah sakit. Kami duduk berjejeran di atas bangku sembari mendengar raungan nestapa dari sekeliling, memanjatkan beribu-ribu doa agar sang Kuasa mendengar harapan yang sekiranya mulai terasa sia-sia.
Berita duka tentang kekerasan fisik dan mental terhadap Allegra membuat kepiluan semakin meledak. Beberapa jam berlalu setelah terungkap, pemuda di dalam ruang inap sana belum juga membuka mata.
Kak Elen sudah lebih dulu kembali ke rumah diantar oleh Angga sebelum pemuda itu kembali menemuiku. Sementara itu, Kak Raya berada di dalam sana, menemani Allegra bersama sanak saudaranya hingga hanya menyisakan aku dan Kak Dean yang diam terbelenggu dengan dunia masing-masing.
Air mata ini belum juga terhenti menetes keluar dari pelupuk mata. Tubuhku masih bergetar, dirundung pilu nan menyesakkan.
Tepukan pelan terasa di bahu, setelah berbalik aku dapat melihat Kak Dean dengan ekspresi duka bekas tangisan tengah menatapku sambil memaksa senyum.
Bibirnya bergerak, mengucapkan beberapa kata. "Ayo kita makan dulu."
Aku menggeleng pelan sebelum tangannya beranjak menarik pergeralangan tanganku untuk ikut berdiri.
"Menangis boleh, tapi jangan melupakan semuanya. Perutmu butuh makan, Allegra juga mau melihatmu selalu sehat."
Aku mengangguk tanpa suara, Kak Dean pun mulai berjalan menuntunku meninggalkan lorong yang terhubung dengan ruangan Allegra.
Kami berdua berjalan melewati tiap keadaan manusia yang suaranya memenuhi tiap sudut rumah sakit. Ada yang menangis sesenggukan, ada pula yang melambungkan tawa renyah berusaha memasang topeng meski hawa duka terasa menelusuk di sekitar.
Sesampainya di kafetaria, aku dan Kak Dean memilih duduk di kursi yang terletak paling ujung, berada di sudut ruangan dengan sebuah meja yang berwarna senada.
Setelah melakukan pemesanan serta membeli makanan bungkusan yang telah tersedia. Kami berdua mendudukkan diri, saling berhadapan menatap lawan bicara masing-masing.
Suapan pertama terasa setelah nasi goreng memasuki tenggorokan. Kami membisu untuk sesaat sebelum akhirnya Kak Dean mengucapkan beberapa kata.
"Maafkan aku," ucapnya parau.
"Maaf karena apa?"
"Karena ... aku dan Raya yang menelepon dan mengancammu untuk menghapus foto Allegra."
Aku diam mematung, mencerna kenbali tiap kata yang keluar dari pemuda di depanku. Nomor Kak Raya, ponsel QWERTY yang ditemukan, dan keberadaan Kak Dean dekat dengan tempat penyerangan Angga. Menguatkan bukti jika mereka adalah dalang utama dalam kasus peneror misterius.
Baru ingin menimpali perkatannya, tiba-tiba Kak Dean kembali bersuara.
"Percaya, Le. Aku tidak bermaksud menyakitimu, hanya saja ingin melindungi Allegra supaya dia tidak terikat dan merasa tersakiti setelah melihat kamera itu." Dia menatapku dalam. "Kamu sudah berhasil mengingat semuanya, 'kan?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Everything Will Be Fine
Mystery / ThrillerCERITA INI DIIKUTSERTAKAN DALAM 1ST ANNIVERSARY ANFIGHT BATCH 8 . . Aleana Wulandari merupakan seorang photoholic sejak pertama kali ayahnya memberikan kamera sebagai hadiah ulang tahun yang keenam belas. Anak baru yang duduk di kursi bagian belakan...