Pada akhirnya, hari-hari terasa monoton setelah kameraku rusak karena dipakai terlalu lama untuk memotret ribuan gambar.
Jika mengukur kembali waktu yang telah lalu dengan banyaknya kenangan tersimpan melalui kamera itu untuk berada di titik sejauh ini, tak akan pernah ada habisnya.
Meski belum ada tiga minggu aku memilikinya, kehilangan setiap bagian penting dalam mengambil gambar membuatku kesusahan.
Segala macam foto yang telah kujepret—termasuk ribuan foto Allegra—hanya tersimpan di dalam kartu memori tanpa satu pun bisa terakses untuk dilihat satu-persatu.
"Mau menemaniku?"
Suara berat laki-laki terdengar, mengagetkanku yang sedang menulis rumus matematika yang tercantum di depan papan tulis sana.
Sambil mencoba memasang raut malas, aku menoleh mendapati manik mata cokelat gelap sedang menatap ke arahku dengan senyum mengembang. Andai saja tak menyadari dengan banyak sikap pemuda itu yang kerap kali berganti, mungkin senyuman manis yang menemani Allegra kali ini akan dapat membuatku terbuai. "Mengikutimu ke mana?"
Dia duduk mengisi kursi kosong di depanku. Sekali terlihat dengan wajah berseri, rahang tegas beserta alis tebal itu membuatku kembali terperdaya. Melampaui segala macam perasaan yang terbendung tiap kali mata kami bersitatap, meluluhlantakkan segala macam dinding yang coba dibangun.
Aku tak tahu, ini semua terasa nyaman bahkan seperti dia pernah menjadi bagian penting untuk terus berada lebih lama bersamaku. Sangat damai, bersama seluruh rasa hangat yang selalu menyelimuti.
Jika bukan karena senyum manis yang terpasang di wajahnya, aku mungkin tak akan menyadari bahwa semua ini hanyalah sementara.
"Hei!"
"Kamu mendengarku?"
Untuk kesekian kali aku mengedipkan mata, menatap pemilik bibir merah merona di depan sana sedang menautkan alis menatapku dengan penuh heran, seketika menghilangkan senyum manisnya.
"A–apa?"
Allegra mendengus kesal dengan reaksi yang baru saja aku berikan. Pemuda itu mengulang kembali ucapannya, terus menatap wajahku tanpa sedikit pun ia berpaling.
"Aku mau kamu menemaniku."
Hanya anggukan kecil yang dapat aku berikan. Melihat pemuda itu yang tak lepas sedikit pun dari arah pandang, membuatku kesulitan dengan segala macam tipu daya yang mungkin dapat terjadi.
"Bagus." Sambil menepuk-nepuk pelan puncak kepalaku, Allegra bangun dari tempatnya duduk lalu berjalan pergi hingga menghilang dari balik pintu kelas.
Satu hari di sekolah mulai berlalu, hingga tak terasa dering bel pulang telah berbunyi menyemarakkan seisi kelas dengan penuh teriakan senang.
Bagiku, semua ini mulai terasa. Getaran yang muncul ketika pemuda dengan hidung runcing menarikku keluar dari kelas sebelum semua orang lebih dulu menghilang dari ruangan penuh kursi dan meja itu. Degup jantung ini, terdengar berdetak lebih cepat dari biasanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Everything Will Be Fine
Mystery / ThrillerCERITA INI DIIKUTSERTAKAN DALAM 1ST ANNIVERSARY ANFIGHT BATCH 8 . . Aleana Wulandari merupakan seorang photoholic sejak pertama kali ayahnya memberikan kamera sebagai hadiah ulang tahun yang keenam belas. Anak baru yang duduk di kursi bagian belakan...