Bab 15 - Kenyamanan

49 11 8
                                    

Setelah waktu berlalu, suara nada dering itu tak kunjung berhenti

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Setelah waktu berlalu, suara nada dering itu tak kunjung berhenti. Apalagi dengan seseorang di seberang sana yang belum juga mengangkat panggilan telepon dari ponselku.

Samar-samar, dari arah sebelah kiri sana terdapat seseorang yang keluar dari balik kegelapan. Menyeret tiap langkah hingga memberikan hawa mencekam tercipta. Aku gemetar, bahkan Angga di samping motornya hanya berdiam waspada sambil memperhatikan tempat di mana orang itu mulai berjalan.

Cahaya terang menyingkap orang dari kegelapan itu. Menampakkan wujudnya yang tinggi dengan rahang tegas juga pinggiran pipi terdapat lebam biru. Di bawah naungan cahaya lampu jalan yang temaram, Kak Dean mendekat ke arah aku dan Angga menggunakan langkahnya yang tertatih-tatih.

"Aku melihat Angga berkelahi dengan orang tadi ketika sedang berjalan kaki untuk pergi menuju mini market di depan sana. Menyadari orang itu telah membuat Angga banyak terluka, aku pun mengejarnya. Hingga perkelahian kecil terjadi di ujung gang. Namun sayang sekali, belum sempat aku membuka penutup wajahnya dia sudah lebih dulu berontak pergi meninggalkanku sendiri," ungkapnya dengan penuh helaan napas sambil menatap kami berdua dengan tatapan sayu.

Buru-buru aku mendekat ke tempat pemuda itu yang mulai berjalan lunglai hampir terjatuh. Angga dengan sigap menopang tubuhnya sebelum akhirnya membawa Kak Dean duduk di samping terotoar.

"Maafkan aku yang telah merepotkanmu, Kak." Angga bersuara, diiringi nada bersalah.

Aku melihat Kak Dean hanya tersenyum sambil mengangguk. Setelah itu, dengan sangat hati-hati aku membersihkan luka kecil tak jauh dari lebam biru di dekat rahangnya, ia kubiarkan berehat sejenak sebelum berdiri kembali.

Di sisi lain, Angga dengan luka yang mulai mengering hanya berdiam diri menatap Kak Dean sambil sesekali kedua alis pemuda itu tertaut.

"Tapi jujur, Ngga. Aku memang tak berani memunculkan diri untuk membantumu. Takut, jika nanti malah memperburuk suasana dan malah membuatmu semakin parah."

Kak Dean memecah segala pemikiran anehku tentang dia yang muncul tiba-tiba. Dengan suara teduh juga senyuman hangat, laki-laki itu memberi banyak kenyamanan untuk waktu yang cukup lama. Beberapa kali bahkan aku mencoba untuk bangun dari segala hipnotis tatapannya yang membelenggu. Namun, bagaikan rembulan yang bersinar memantul di atas sungai jernih, mata indah miliknya memiliki binar cemerlang dengan iris berwarma hitam yang sama dengan milik Angga. Seolah tanpa henti membuatku ingin berlama-lama menatap gari rahang tegas juga wajah tampan kepunyaannya.

"Apa Kak Dean baik-baik saja?" tanyaku.

"Jika melihat kembali semua yang terjadi ini. Menurutmu, apa aku masih bisa disebut baik-baik saja?" dia bertanya. "Oh, kalian berdua ada apa meneleponku tadi?"

Hening. Angga bagaikan membisu, ia kemudian berdiri lalu berjalan menuju motor milik pemuda itu yang masih terparkir, tanpa mengeluarkan sepatah kata pun untuk menjawab pertanyaan dari Kak Dean barusan.

Melihat tingkahnya seperti berubah seratus delapanpuluh derajat. Aku pun menjelaskan maksud dari teleponku kepadanya, tentang Angga yang kesulitan membawa motor sehingga harus memilih menghubungi pemuda di sampingku untuk membantunya karena Kak Dean adalah satu-satunya nama yang terlintas ketika berada di dalam keadaan genting.

"Jadi, kamu mau aku mengantarkan Angga ke rumahnya?"

Dengan mata yang mulai tertutup, ia menghela napas kasar. Sebelum akhirnya tangan kokoh Angga tiba-tiba menarikku menjauh dari tempat Kak Dean duduk mengistirahatkan tubuhnya.

Angga menyuruhku naik ke motornya, sebelum dirinya juga ikut naik lalu mulai menyalakan mesin motor tersebut.

Aku melihat Kak Dean membuka matanya. Menatapku juga Angga dengan senyuman yang tak bisa aku tafsir. Pemuda itu berucap kencang menyuruhku pulang dengan Angga saja tanpa sedikit pun berdiri dari duduknya.

Suara motor milik Angga semakin terdengar gaduh, membuat asap putih mengepul di sekitaran kami berdua.

"Pegangan."

Aku memeluk pelan pinggul Angga sebelum akhirnya motor yang kami naiki bergerak menutupi jarak.

Dalam malam yang lumayan dingin, bahu pemuda di depanku sedikit bergetar. Lewat kaca spion, aku melihatnya mengeluarkan banyak keringat dingin hingga membanjiri seisi wajah. Sejak saat itu, aku sadar bahwa Angga memang memerlukan kehangatan.

Setelah melihat kesunyian di sekitar, inisiatifku sendiri untuk mendekap tubuh pemuda itu dengan erat. Toh, kami sering melakukan hal ini ketika masih berada di kelas sepuluh lalu. Rasanya masih sama, hangat.

Perut rata pemuda itu menghasilkan sensasi tersendiri. Apalagi punggung lebar dengan aroma khasnya yang terasa familier ... rumah.

"Jangan pernah menjauh dariku—" Angga menggantungkan perkataannya.

"Apa pun keadaanya kamu harus tetap berada di sisiku," ucapnya lirih.

Aku diam membisu, menatap jejeran pepohonan tinggi yang terlihat beraturan di sepanjang jalan sebelah kiri. Mencoba menghentikan waktu untuk beberapa menit memeluk erat tubuhnya hanya agar merasakan kembali kenangan lama yang sempat terpendam. Kenangan yang pernah membuatku terperdaya untuk pertama kalinya dengan sahabat masa kecilku sebelum tahu bahwa dia hanyalah sebatas teman dekat tanpa sedikit pun terikat hubungan spesial di dalamnya.

Aku dulu pernah jatuh cinta dengan orang di depanku. Sebelum rasa itu mulai memudar seiring terbiasanya diriku dengan kebersamaan tanpa alasan ini. Sebelum aku tahu, bahwa sudut pandang Angga terhadap hubungan kami hanyalah sekadar sahabat yang harus melindungi sahabatnya. Berbeda denganku yang mengharapkan lebih.

"Ale?" Angga buka suara memudarkam lamunanku.

"Hmmm."

"Terima kasih untuk segalanya."

"Untuk apa?"

"Ya ... semua yang telah kamu lakukan untukku." Salah satu tangan Angga memegang erat kedua tanganku yang masih melingkar di perutnya. Hangat.

"Aku, aku merasa bersyukur dengan semua itu." Dia melanjutkan ucapannya.

"Aku menyayangimu, Le."

Jantungku seolah berhenti berdetak untuk sesaat. Semesta, andai saja aku tak menipu diriku, bahwa kami bukan hanya sekadar sahabat masa kecil. Mungkin aku akan terbuai dengan perkataannya kali ini. Seolah semua yang terjadi hanyalah mimpi terbaik di malam hari, membuatku selalu berpikir dengan keberadaan perasaanku yang selalu bergejolak di setiap harinya. Seakan menolak untuk terlupakan meski waktu telah berlalu belasan tahun lamanya.

 Seakan menolak untuk terlupakan meski waktu telah berlalu belasan tahun lamanya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Everything Will Be Fine Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang