Bab 17 - Pertanyaan

48 10 0
                                    

Allegra senantiasa muncul tiba-tiba, melingkupi warna monokrom dengan cahaya seterang rembulan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Allegra senantiasa muncul tiba-tiba, melingkupi warna monokrom dengan cahaya seterang rembulan. Seraya menilap muram dengan kehangatan senyuman meski hanya sesaat, membawaku kepada jalan panjang tanpa akhir melalui embusan napas di setiap detiknya.

"Kamu seharusnya tak ke sini." Pemuda itu berucap pada saat melihat tubuhku yang baru saja masuk ke dalam ruang kelas secara sembunyi-sembunyi.

Raut wajah Allegra tampak datar, hanya menyisakan alis bertaut dengan kedua kelopak mata menyipit menenggelamkan iris cokelat gelap kepunyaannya.

Aku berjalan sambil membuat entakan beruntun. Bersikap acuh tak acuh dengan kehadirannya, berupaya untuk mendekat ke arah meja dekat jendela untuk mengambil satu barang yang sangat penting untukku-kamera.

Ketika sedang mengubrak-abrik isi tas untuk mencari benda yang dituju, dari arah punggung terasa seseorang berjalan melewati. Aku sontak berpaling, menatap pemuda yang tadi pagi sempat berkata aneh, melihat dia berlalu keluar dari kelas tanpa embusan angin pun yang terasa.

Setelah dirasa aman, aku kembali merapikan isi tas setelah menemukan kamera keluaran lama yang telah dipindahkan ke atas meja.

"Sudah ketemu belum?"

Aku sontak terjungkal, memandang Angga yang kini sedang terkekeh sambil menyandarkan tubuhnya di sisian pintu.

"Mengagetkan saja!" seruku. Berjalan ke arah pemuda itu dengan langkah sedikit cepat.

"Kamu sudah yakin?" tanyanya.

Aku mengangguk. Lantas menuntun Angga keluar dari kelas untuk mencari Allegra yang tubuhnya telah menghilang di waktu istirahat ke dua ini.

Ramainya orang-orang di sekitar membuat kami beberapa kali harus menepikan tubuh memberi jalan kepada gerombolan siswa-siswi yang sedang membawa makanan. Apalagi turnamen basket antar kelas sedang dilaksanakan di tengah lapangan sehingga membuat banyak orang berkerumun di sekeliling koridor hanya untuk menyaksikan pertandingan itu.

"Tapi aku tidak menyarankan kamu untuk mengetahuinya, sih. Bagaimana jika hanya berujung sia-sia seperti kemarin?"

Aku menggeleng, menarik pergelangan tangan Angga menyusuri seisi sekolah yang membentuk persegi empat. Mencoba mencari lebih saksama pemuda berhidung runcing itu, meskipun sangat disayangkan tak memiliki hasil karena keberadaannya sangat jarang diketahui.

Alangkah terkejut, ketika mata ini menangkap sepasang insan manusia sedang berada di pinggiran lapangan yang cukup sepi sambil saling bercengkerama bersama. Ada Kak Elen, bersama dengan Allegra yang saling menukar senyum bagaikan mereka berdua telah kenal cukup lama.

Aku tercengang, apalagi setelah menyaksikan langsung perubahan drastis sikap Allegra yang terlihat lebih hangat daripada ketika ia bercakap dengan orang lain atau dengan diriku. Pemuda itu terlihat banyak mengeluarkan ekspresi ketimbang raut dingin yang selama ini dia pasang tanpa henti.

Tubuh Angga seketika menegang setelah aku memperlihatkan kejadian menakjubkan di depan sana. Pemuda itu diam mematung sebelum akhirnya goncangan pelan di pundaknya aku befikan.

"Eh?" Dia berpaling menatapku.

"Kamu melamun?"

Angga menggeleng sebelum ia menyuruhku untuk memotret Allegra dengan cepat sebelum pemuda di depan sana menyadari kamera yang kupegang.

Dengan cekatan, aku mengarahkan lensa kamera ini tepat ke arah Allegra yang sedang tersenyum memamerkan dua buah bola mata terbenam oleh kelopaknya. Dengan men-clos up kamera, wajah tampan itu terlihat menampilkan alis tebal juga rahang tegas yang menambah keindahan bagi fitur wajah dinginnya.

Salah satu jari tangan milikku telah berada di atas tombol shutter merasa siap untuk menekannya. Dengan beberapa kali tekanan, suara shutter kamera terdengar samar karena teredam oleh semaraknya orang-orang yang sedang memperhatikan pertandingan di lapangan.

Potret dirinya langsung terabadikan. Tak tanggung-tanggung, aku berniat mengambilnya lebih banyak meski jari ini terasa pegal karena telah menekan tombol di atas kamera lebih lama dari biasanya.

Bahkan ketika aku mencoba meregangkan tangan, Angga terlihat telah duduk di bangku terdekat sambil memperhatikan tali sepatunya yang terikat dengan rapi. Beberapa kali pemuda itu menguap dengan mata memejam.

Melihat sudah hampir enam ratus lebih foto yang telah aku ambil, belum sama sekali memutus niat untuk memotretnya lebih banyak lagi. Demi segala misteri yang harus terpecahkan, aku harus berusaha lebih keras. Tak boleh sedikit pun menyerah apalagi terjebak di dalam pertanyaan tanpa jawaban yang selama ini menyelimuti pikiranku.

Waktu berlalu hingga sampai tigapuluh menit lamanya, terlihat Allegra dan Kak Elen telah menyelesaikan percakapan mereka hingga hanya menyisakan pemuda itu dengan wajah tampannya yang tengah fokus menatap para tim basket bermain di lapangan.

"Sudahlah, mari kembali saja, Le." Angga bersuara, menendang pelan ujung sepatu hitam yang sedang aku kenakan.

Tanpa memedulikan pemuda di sampingku, aku kembali fokus memotret Allegra hingga suara shutter terdengar berkali-kali seolah telah memikat diri dengan ingatanku.

"Kamu mengambil gambar lagi?"

Aku terkejut mendengar suara familier dari seseorang yang berada di belakang tubuhku. Mendengar itu, aku berbalik menatap orang tersebut sambil berusaha menyembunyikan fakta tentang memotret Allegra secara diam-diam.

Kak Dean mengangguk melihat kamera di tanganku sebelum matanya melirik pelan Allegra yang berada di ujung sana.

"Jangan terlalu sering mengambil gambar orang lain tanpa mendapatkan izin." Kak Dean mengacak pelan puncak kepalaku sebelum ia berlalu pergi memasuki kerumunan orang yang berada tak jauh dari tempatku berdiri.

Angga sudah lebih dulu bangun, tanpa suara dirinya mulai menarik pergelangan tanganku mencoba membawa pergi keluar dari padatnya orang-orang di sekitar.

Menyadari masih banyak foto Allegra yang harus aku tangkap, aku meronta pelan, mencoba terlepas dari genggaumannya.

"Ikuti saja aku."

"Kamu seharusnya tidak bergerak terlalu jauh."

Perkataan Angga seketika menyadarkanku dengan apa yang telah kulakukan. Semua ini memang terlampau jauh, bahkan sangat tak senonoh untuk mengganggu kehidupan pribadi Allegra. Apalagi mengambil gambar secara diam-diam, seolah semua ini memang terjadi karena kesengajaan.

Tapi, aku harus bagaimana? Bukannya semua pertanyaan harus memiliki jawaban?

Sebenarnya, apa yang tengah aku lakukan kali ini?

Sebenarnya, apa yang tengah aku lakukan kali ini?

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Everything Will Be Fine Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang