Masih ada waktu dua jam sebelum jarum jam menyentuh ke angka sepuluh. Aku berlari dengan cepat keluar dari area perumahan mencoba untuk menuju tempat di mana Angga berdiam diri saat ini. Walau panik, tapi pemikiranku masih mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi dengannya.
Karena aku tau, pemuda itu bukanlah tipe orang yang mau mendapatkan pertolongan dariku. Bahkan ketika dia terjatuh ke dalam selokan penuh rongsokan semasa SMP dulu, sampai pergelangan kakinya berdarah dan langkah dia tertatih-tatih, Angga begitu enggan menggapai tanganku ketika pemuda itu mencoba untuk kembali ke permukaan. Selalu saja membuat dalih seolah laki-laki tak boleh merepotkan perempuan.
Langit gelap Jakarta menampilkan cahaya bulan yang bersinar terang meramaikan keindahan malam selasa dengan semaraknya kendaraan yang sedang berlalu-lalang memadati jalanan di ibu kota.
Aku terus berlari tanpa henti pada saat menyaksikan ribuan bintang terang mulai menghilang dari hamparan langit perkotaan. Meski beberapa kali tubuh ini mencoba untuk menepis dingin dengan hoodie hitam kesukaanku, namun udara malam di tengah kota ini seolah enggan tuk berpaling hingga membuat helai demi helai rambutku beterbangan tertiup angin.
Sambil membawa alkohol, kapas, dan perban di dalam kantung hoodie, langkah kecil ini sebisa mungkin kupercepat agar dapat mencapai jarak ke tempat Angga. Semua persiapan itu telah kupersiapkan, aku tahu terlalu dini untuk mengambil kesimpulan sebelum melihatnya lebih dulu. Entah apa yang sebenarnya terjadi dengan pemuda itu, melalui nada lirih menahan sakit yang terdengar keluar dari mulutnya ketika dia menyebutkan langsung lokasinya saat ini, dapat memberikan kesimpulan bahwa ada sesuatu yang terjadi dengan Angga di suatu tempat. Yang membuatku harus menolong sahabat sejak kecilku itu.
Beberapa meter dari tempatku berada. Aku melihat seorang laki-laki yang tengah bersandar di depan tiang lampu jalanan, dengan cahaya temaram yang bersinar menyorot ke arah pemuda itu.
Itu Angga. Bahkan motor kepunyaannya yang terguling di dekat terotoar itu menunjukkan jika pemuda di sana baru saja mengalami kemalangan.
Aku bergegas melangkah lebih cepat. Mencoba mendekat ke arah pemuda tersebut sebelum akhirnya dia berpaling ke arahku sambil tetap memperlihatkan senyum teduh.
Sungguh, Angga memang selalu membawakan sisi positifnya di keadaan apa pun. Membuatku terus nyaman berada dekat dengan pemuda itu. Tetap saja, sebagai sahabat aku khawatir. Apalagi ini menyangkut keselamatan.
"Lama sekali," ucapnya dengan nada kesal yang dibuat-buat.
Tarikan kencang di telinga aku berikan kepada pemuda itu. Angga berteriak kesakitan sambil memukul-mukul pelan tanganku yang berada di dekatnya. Setelah melihat wajah pemuda itu yang telah dipenuh luka beserta lebam biru, aku pun melepaskan jeweran yang kuberikan.
Dia mengaduh sambil menggosok telinganya yang telah memerah. "Bantu aku sini."
Angga mengalihkan wajahnya untuk menatapku. Raut wajah pemuda itu seketika berubah, membuatku mengangkat satu alis seolah bertanya dengan keadaannya kali ini.
Tanpa sadar, aku mengeluarkan air mata. Yang keluar bahkan kutahu telah tertahan sejak pertama kali aku mendengar suaranya di telepon tadi. Rasa cemas, khawatir, dan takut. Semua itu bercampur di dalam hatiku. Anak kecil yang telah tumbuh menjadi remaja tampan di depanku saat ini selalu dapat membuatku menangis karena segala yang terjadi kepadanya.
"Yang seharusnya menangis, kan, aku tau!" Angga mengusap air mata yang mengalir di pipiku.
"Sudah, sudah." Aku mencoba tertawa. "Sini aku obati."
Dalam hening, kami berdua saling membisu. Memperhatikan dengan saksama apa yang sedang dilakukan oleh lawan bicara. Perlahan, aku membasuh bercak darah di wajahnya yang mulai mengering menggunakan alkohol juga kapas yang kubawa.
Tak ada yang menarik selain dia yang terus teriak kesakitan setiap kali cairan alkohol mengenai lukanya. Bahkan dari dekat sini terlihat kedua mata Angga yang mulai berkaca-kaca. Ingin sekali aku meluapkan tawa jika saja tidak melihat keadaannya yang kesakitan kali ini.
"Memangnya kamu kenapa?" Aku bertanya.
"Tadi aku diserang sama orang yang memakai pakaian tertutup."
"Ya ... meski aku tidak tau siapa orangnya."
Aku mengerutkan kening. "Diserang?"
Angga mengangguk. Tampak dirinya belum dapat mengucapkan kata-kata lebih lanjut karena salah satu luka di dekat bibir pemuda itu yang lumayan menganga.
Remaja laki-laki di depanku kemudian memberikan sebuah ponsel lama bermodel keypad QWERTY yang bukan layar sentuh kepadaku.
"Ini, milik orang yang menyerangku tadi."
Aku menerima ponsel yang ada di tangan Angga. Sebelum akhirnya ponsel ini benar-benar kusimpan.
"Kamu melihat wajahnya?"
Menjawab pertanyaanku, dia hanya menggeleng.
Setelah semua luka di sekujur tubuhnya telah berhasil kubersihkan, Angga mulai memperbaiki posisi motornya yang masih tergeletak. Dia benar-benar kesusahan ketika mengangkat motor tersebut, apalagi kaus abu-abu tipis yang dikenakan oleh pemuda itu sepertinya tak dapat menangkal dingin yang melanda. Membuatku beranjak untuk membatunya.
Aku melihat Angga menatapku dengan raut tidak suka meski pada akhirnya ia menerima bantuan yang coba kuberikan. Aku tahu dengan keadaannya saat ini akan sulit untuk pemuda itu membawa motornya, sehingga hanya tersisa satu nama di kepala untuk menghubungi satu nomor yang memang selalu ada ketika para anggota OSIS memerlukan bantuannya.
Jari-jari kecil kepunyaanku mengutak-atik dengan pelan layar ponsel sebelum akhirnya nama Kak Dean muncul di pencarian paling atas. Berharap jika mantan ketua OSIS itu mau menolongku dan juga Angga.
Buru-buru aku menekan tombol telepon sebelum akhirnya terdengar nada sambung yang sangat familier. Sering kali kudengar pada saat aku meneleponnya untuk menanyakan kegiatan OSIS ketika masih berada di kelas sepuluh tahun lalu.
Suara nada dering telepon tiba-tiba berbunyi. Membuatku dan Angga saling pandang sebelum akhirnya memastikan lagi ponsel siapa yang tadi berdering.
Milikku sangat tidak mungkin, apalagi ponsel Angga yang telah sepenuhnya habis baterai. Ponsel milik orang yang menyerang kami pun sepertinya tak mungkin karena di dalam saku hoodie-ku ini tak ada getaran sama sekali.
Tempat kami berdua berdiri kali ini memang sepi karena terbilang jalan yang jarang dilalui banyak pengendara. Aku mulai ketakutan, bahkan sikap ceria Angga tiba-tiba berganti waspada ketika suara nada dering ponsel semakin keras terdengar seiring dengan lebih lamanya panggilan yang kubuat untuk menelepon Kak Dean.
KAMU SEDANG MEMBACA
Everything Will Be Fine
Mystery / ThrillerCERITA INI DIIKUTSERTAKAN DALAM 1ST ANNIVERSARY ANFIGHT BATCH 8 . . Aleana Wulandari merupakan seorang photoholic sejak pertama kali ayahnya memberikan kamera sebagai hadiah ulang tahun yang keenam belas. Anak baru yang duduk di kursi bagian belakan...