Setelah pengakuan yang terlontar dari mulut Kak Elem, kali ini aku berjalan menyisir anak tangga untuk mencapai lantai atas di sebuah rumah yang dominan dengan warna putih tulang.
Angga, salah satu dalang terbesar dari semua kebohongan ini. Aku harus memastikan darinya, bahwa semua yang terjadi bukan dari kesimpulan sepihak yang aku buat.
Pintu di depan tempatku berdiri kini terlihat terbuka. Menampilkan Angga yang menatapku diam tanpa suara apalagi bergerak dari meja belajar kepunyaannya.
Aku melangkah pelan, mencoba membendung air mata namun keadaan kali ini telah benar-benar kacau.
"Ka–kamu kenapa?" Angga bersuara, pada saat melihat penampilanku yang terasa urak-urakan.
Diam, sepatah kata pun tak dapat kuucapkan kala ledakan emosi berkecimpung dengan rasa takut di hati yang kian membesar. Membuatku tersadar kembali, semua yang terjadi telah berlalu lama tanpa sedikit pun menyadari kesalahpahaman yang dibuat.
Waktu bergerak melambat, menampilkan Angga yang tak dapat beringsut lebih dan hanya dapat menatapku dengan tatapan itu, tatapan yang tak pernah aku mengerti apa maksud di dalamnya. Dengan binar sendu yang mengisi seisi bola mata, mengindahkan iris serupa dengan warna rambutnya. Pemuda di depanku, bergetar untuk waktu yang cukup lama.
"Kamu baik-baik saja, 'kan?" Dia kembali bersuara, meskipun dibalut dengan nestapa.
Aku hanya diam, membisu berusaha menelan mentah-mentah segala apa pun yang akan terjadi jika nantinya kebenaran terungkap lebih dan lebih dalam lagi.
Langit kelabuh meramaikan hari sendu ini. Setelah berbagai macam kebohongan terungkap, aku harus tau jika tak ada lagi kata jujur yang harus tiada.
Mendapat segenap rasa pahit di hati, mengetahui banyaknya jawaban yang kerap kali kupertanyakan kebenarannya. Tak ada yang berubah, hanya perasaan yang tumbuh juga ingatan yang mulai kembali menyatu dari serpihan-serpihan kecil.
"Aleana?" Angga bergerak mendekat, dengan wajah panik ia menggoncang tubuhku. "Kamu mendengarku, 'kan?"
Untuk beberapa saat, aku diam menatap kekosongan di depan. Menutup telinga rapat-rapat bagaikan kepedulian telah sirna. Terganti dengan banyak sekali gelap yang mulai tersulut oleh kehampaan.
"Ale?"
"Le, jawab. Kenapa diam dari tadi?" Pemuda itu masih berusaha menggoncang tubuhku dengan raut wajah yang lebih panik dari sebelumnya.
Tubuhku bergetar, mulai menatap menik teduh itu. Masih dengan cairan hangat keluar mencari jalan untuk melewati kedua pipi ini.
"A-angga, apa kamu tau te-tentang Allegra?" Aku bertanya, dengan suara bergetar.
"A-allegra?" Angga bersuara dengan kedua alis berpaut, menggaruk pelan hidung dengan satu tangan seperti gatal telah bersarang di sana.
"Kamu menyembunyikan semuanya, 'kan?!" Suaraku mulai memelan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Everything Will Be Fine
Gizem / GerilimCERITA INI DIIKUTSERTAKAN DALAM 1ST ANNIVERSARY ANFIGHT BATCH 8 . . Aleana Wulandari merupakan seorang photoholic sejak pertama kali ayahnya memberikan kamera sebagai hadiah ulang tahun yang keenam belas. Anak baru yang duduk di kursi bagian belakan...