Daun-daun diterpa angin panas kota Jakarta, bergerak kesana-kemari tanpa beban layaknya layangan yang diikat oleh benang. Orang-orang mulai berlalu lalang, menerobos jalan besar dengan kendaraan pribadi, mengejar jadwal kerja masing-masing.
Berlainan dengan kedua mahasiswa yang sedang duduk di salah satu kafe. Mereka sedang menikmati libur semester sebelum kembali pada dunia perkuliahan yang kalau kata Jenta, 'Ini neraka!' Dan jika Jenta berteriak-teriak tidak jelas seperti itu, Jaehyun akan memukul kepala pemuda itu hingga sadar. Raina jadi merindukan suasana kampus.
"Kemarin Bapak memperkenalkan laki-laki padaku, " ucap Raina sembari menaruh segelas kopi susu dingin.
Zainab hanya mampu menyatukan alis, dia terlalu larut dengan kue lemon di mulutnya, pipinya penuh dan menggembung lucu.
"Aku tau Bapak berniat menjodohkan aku dengan pria itu. Tapi aku lelah, Zainab. Aku lelah hidup dalam bayang-bayang Bapak dan Ibu, aku ingin memilih jalanku sendiri." Suara Raina terdengar lirih, matanya mengembun, siap meluncurkan air mata jikalau gadis itu tidak mampu menahannya lagi.
"Coba kamu tanya Allah, tanya Rabb-mu. Jangan tanyakan masalah penting ini kepada aku, Raina. Aku hanya manusia biasa jika kamu lupa." Zainab kembali memasukkan potongan besar kue lemon ke dalam mulutnya.
"Kata Bapak, pria itu mapan. Hafalannya bagus, sholatnya terjaga. Dia sudah mengenal Allah lebih lama daripada aku, dan terlebih lagi dia murid kesayangan ustadz Amir."
Mata Zainab membola, hampir saja garpu kecil ditangannya jatuh ke lantai. "Murid kesayangan Ustadz Amir! Jangan-jangan kamu dijodohin sama Mas Daru?" pekik Zainab, membuat Raina tersentak dan mengangguk perlahan.
"Pak Daruja itu dosenku di Bandung, Nab. Kata Pak Dirga, ayahnya Pak Daruja. Pak Daruja sudah mapan, bisnisnya sukses dimana-mana."
Mata belo milik Zainab menyipit, dahinya mengerut. "Tidak mungkin seorang yang matang dan mapan belum menikah, Na. Ya walau aku juga tidak pernah mendengar gosip tentang Mas Daru sih..."
Jangan tertipu dengan tampang imut dan manis Zainab, gadis bertubuh kecil itu sangat lihai dalam mencari informasi. Gosip dalam pondok maupun luar pondok dia tau. Atau bahkan simpang siur permasalahan hidup alumni pondok pun Zainab tau. Tapi dia mengakui jika dia tidak mengetahui sedikit pun tentang Daruja selain wajah dan gelar pria itu.
"Mapan dan sholeh, siapa yang tidak mau dengan Mas Daru, Raina. Jikalau aku jadi kamu sih... langsung aku embat." Zainab menatap Raina dengan mata yang mengisyaratkan memuja, sepertinya dia ngefans sama Daruja.
"Aneh juga ya kalau belum ada pasangan, apalagi Pak Daruja sudah memasuki umur tiga puluh tahun keatas."
__-__
"Raina! Keluar dari kamarmu sekarang, Daru sudah datang, " teriak Ibu kencang.
Mendengar namanya dipanggil, Raina langsung cepat-cepat menyambar kerudung dan keluar kamar. Kepalanya tertunduk saat melihat pria dengan kemeja putih duduk disamping Bapak. Gadis itu duduk di seberang Bapak dan Daruja, menautkan kedua tangan menandakan dirinya sedang gelisah.
"Mungkin kamu sudah tau bahwa Bapak berniat membantu Daruja untuk lebih mengenalmu. Jadi Bapak tinggal dulu, kalian bisa saling berbincang tanpa merasa malu." Bapak berdiri dari duduknya, matanya menatap Daruja dan mengisyaratkan agar pria itu berbuat sesuka hatinya.
Canggung, atmosfer itu terlalu menguasai kedua insan yang dilanda bisu. Tidak ada yang memulai percakapan, lima menit tanpa suara. Daruja menghembuskan napas, dia sudah tak tahan dengan suasana sepi ini.
"Jika saya melamar kamu, apa kamu mau, Raina?" tanya Daruja. Matanya bertemu dengan milik Raina, darah mendesis naik dan membuat jantung pria itu berdetak kencang.
"Saya masih muda, saya tidak sanggup meninggalkan mimpi-mimpi saya."
"Jikalau nanti kamu menerima saya. Saya akan membebaskan kamu untuk menyelesaikan kuliahmu, Raina."
Kepala Raina menggeleng. "Tapi apakah Bapak mengijinkan saya bekerja sampai larut malam? Jarang berada dirumah karena harus lembur dikantor?" Pertanyaan Raina membuat pria dihadapannya terdiam.
"Pasti tidak. Saya tau bahwa Bapak sudah mapan, mampu membiayai kehidupan saya. Tapi saya masih ingin sendiri, Pak."
Raina menarik napas dan melanjutkan perkataannya, "Saya sudah cukup dikekang. Tidak bisa menikmati dunia luar atau bahkan bermain seperti anak-anak lainnya. Jadi untuk kali ini, biarkan saya egois. Saya ingin hidup sendiri tanpa dibebankan atau dikekang siapapun."
Raina berdiri, kepalanya menunduk menatap lantai. "Saya mohon, Pak. Bilang pada orang tua saya bahwa bapak tidak jadi melamar saya."
Helaan napas terdengar panjang, Daruja hanya mampu melihat punggung Raina yang semakin menjauh. Pria itu mengusap surai dan meremasnya. "Apa yang harus saya katakan nanti."
__-__
Dilain tempat. Jaehyun melamun, matanya terus menatap jendela. Pemandangan dibawah sana lebih menarik daripada kopi yang mulai mendingin. Pemuda itu tidak sedang berada di kontrakannya bersama Jenta, dia berada di apartemen yang dia beli diam-diam.
Dering ponsel membuat tubuh pemuda dengan piyama biru gelap tersentak, nama Jenta tertera jelas di ponsel itu, membuat Jaehyun langsung mengangkatnya. Sudah lama Jenta tidak mengabarinya dan meninggalkan Bandung tanpa kabar.
"Halo, Jen. Gue minta maaf soal kejadian bulan kemarin, gue bener-bener gak berniat bikin lo panik sampai segitunya, " ucap Jaehyun sembari menahan tangis, dia sudah tidak tahan didiami oleh sahabatnya.
"Iye, iye. Gak usah nangis juga kali, cowok bukan lo? Eh! Gue ada berita penting, Lo harus tau." Suara Jenta menggebu-gebu.
Jaehyun membenarkan posisi duduknya karena antusias. "Berita apaan?"
Jawaban Jenta membuat pemuda berlesung pipit itu membuka mulutnya lebar-lebar, tak percaya dengan apa yang sahabatnya ucapkan
"Gue bakal ke rumah lo sekarang. Pantau terus, jangan sampe lo kena serangan panik kayak kemarin."
Jaehyun mematikan sambungan sepihak, dia lantas berlari masuk dan menutup pintu balkon. Tangannya menyambar tas ransel, memasukkan barang-barang penting disana.
"Sialan! Lo udah bikin gue panik, Jenta!"
Double up
KAMU SEDANG MEMBACA
Imam Beda Iman | Jaehyun ✓
Fanfiction"Dimana Abi sekarang, Umi?" "Abi bersama keluarga barunya." "Kenapa tidak bersama kita?" "Karena Abi menang, dia lebih memilih Tuhannya ketimbang memilih Umi." Pernikahan beda iman itu berat, dan Jaehyun memilih melepas beban itu dari punggungnya.