Trisemester pertama memakan banyak tenaga dan pikiran, berat badan mulai terkikis diikuti napsu makan yang semakin tidak terkendali. Raina layaknya es batu, dia tidak bisa berada di bawah terik matahari yang membuatnya meleleh dan jatuh pingsan.
Dia juga tidak bisa mencium aroma hujan, bau tanah basah itu membuatnya muntah. Kepala pening, jadwal makan tak beraturan. Jika tidak ada Zainab, mungkin dia sudah menjadi mayat hidup dengan perut buncit.
Hari jumat, minggu kedua dalam bulan Desember. Zainab berniat pulang ke Jogjakarta. Tiket sudah dipesan, barang-barang sudah dikemas, tinggal hati perempuan itu yang belum siap. Dia tidak sampai hati meninggalkan Raina di rumah seorang diri.
Raina terlalu lemah, tubuhnya suka tiba-tiba terkulai karena kakinya lemas bukan main. Ditambah dengan selera makan perempuan itu yang aneh, Raina hanya mau memakan masakan rumahan, dia akan mengeluarkan isi perutnya jika menelan makanan dari luar. Jika bukan Zainab, siapa yang akan memasak.
“Aku tidak akan membakar dapur, Zainab. Kamu tenang saja, “ ujarnya santai. Dia menyeruput teh hangat sembari ditemani selembaran dari supermarket yang Zainab datangi kemarin.
“Kamu mau bakar separuh rumah ini juga tak masalah bagiku, Raina.” Dia menatap Raina dengan wajah sebal. “Yang penting kamu dan keponakanku selamat. Nanti siapa yang akan masak? Yang belanja untuk kebutuhan toko siapa?”
Raina mendengkus pelan, sahabatnya selalu saja berlebihan kalau berkaitan dengan keselamatan malaikat kecil yang berada di dalam perutnya. “Pesan online bisa, Zainab. Aku tidak seperti Mang Ujang yang tidak bisa menggunakan telepon, aku bisa menggunakan benda itu, ” ejek Raina sembari cemberut.
Mang Ujang, pria tua yang sering mengantar pesanan baju ke sekitar kota Jakarta sampai Depok. Atau terkadang Mang Ujang membantu Raina membawa barang jualan ke toko untuk me-restock. Walau kinerja Mang Ujang patut diapresiasi, tetapi sisi buruk Mang Ujang juga menjadi beban bagi Raina.
Raina sulit menghubungi Mang Ujang, satu waktu dia pernah kelimpungan mencari pria itu untuk mengantar pesanan costumer yang sudah meneror Raina dengan telepon dan pesan di whatsapp. Sore itu ponsel milik Raina sedang tidak ada pulsa, dia juga sedang jaga toko sendirian.
Dan Mang Ujang tidak punya whatsapp atau line, Raina pun sudah pasrah. Untung saja ada salah satu karyawan yang datang karena meninggalkan kotak bekal di loker, jadinya pesanan itu terselamatkan.
Mang Ujang itu ponselnya butut, diberi yang baru malah menolak dengan alasan takut terlena dengna hiburan di dalam benda persegi panjang itu.
“Heh! Istighfar kamu, Mang Ujang kayak gitu karena ingin terlena dengan kenikmatan duniawi, “ tegur Zainab sembari mencubit pucuk hidung sahabatnya. “Apa kita tutup toko dulu? Aku tidak lama, hanya seminggu.”
Raina menggeleng heboh, ide Zainab mampu merugikan usaha mereka. Bisnis baju muslim milik mereka sedang melejit, pesanan di toko online melonjak dari bulan kemarin, toko yang berada di dekat jalan raya juga banyak sekali pembelinya. Tutup seminggu sama saja dengan menyia-nyiakan rezeki.
“Tidak, Zainab. Karyawan akan membantuku, lagipula dari minggu kemarin keponakanmu ini gak rewel. Aku kuat Aunty. “ Raina menirukan suara anak kecil, menggemaskan bagi Zainab hingga perempuan itu tersenyum lebar.
“Ya sudah, aku pergi dulu.”
“Aku antar, sekalian mau ke toko.”
Pelanggan datang berbondong-bondong, pemberitahuan diskon akhir tahun di akun Instagram membuat pelanggan menyerbu toko mereka.
Tempat yang disewa terbilang cukup besar, namun karena terlalu banyak pelanggan yang datang. Raina hanya mampu berdiam di dekat kasir, menemani Wirda sembari duduk dan mencoba menetralkan rasa mualnya dengan minyak kayu putih.
“Teh Raina kalau gak kuat ke resto sebelah aja, Teh. Nanti aku suruh si Jina nyusul kalau udah agak sepi, “ usul Wirda, dia takut terjadi apa-apa karena wajah bosnya sangat pucat.
Raina mengangguk, menarik diri keluar dari toko dan berjalan ke resto yang hanya berjarak dua puluh meter. Satu-dua pelayan menyapa, tersenyum sembari menarik kursi untuk dirinya. Raina dikenal baik oleh para pegawai, karena dia selalu menemani Zainab makan di resto ini.
“Mba Raina mau pesan apa?” tanya salah satu pelayan yang Raina kenal.
“Aku mau ayam geprek aja ya, Put. Nasinya setengah porsi aja, sama teh hangatnya satu.”
Tiga bulan tidak bisa makan makanan kesukaan sangat menyiksa Raina, di minggu pertama dan kedua perempuan itu masih bisa memasukkan burger ke dalam mulutnya. Namun minggu ke tiga sampai ke dua belas, dia bahkan tidak bisa memakan es krim vanilla.
“Emangnya udah gak mual, Mba? Ini pedes loh, aku takut Mba Raina mual.” Putri menaruh sepiring nasi dan ayam geprek, tak lupa dengan segelas teh hangat.
“Enggak kok, Put. Mba udah jalan empat bulan, bayinya udah gak uring-uringan, “ jawabnya sembari tersenyum manis, tangannya mengusap perut buncit yang sekarang sudah sedikit merepotkan kalau diajak berjalan.
Rasa pedas menjalar, membakar lidah Raina. Nikmat sekali, hidup tiga bulan tanpa sambal seperti makan burger tanpa keju, tak lengkap. Tak lama piring itu sudah kosong, teh pun sudah ditenggak habis.
“Makasih ya, Put.” Dia menyerahkan selembar uang pecahan lima puluh ribu. “Kembaliannya simpen aja buat jajan batagor kesukaan kamu.”
Putri tersenyum dan berterima kasih. Raina sedikit banya khawatir dengan gadis muda itu, baru lulus SMA sudah kerja. Tiba-tiba kepala Raina pening, dia berhenti melangkah dan mencoba menetralkan rasa sakit yang menyerang.
“Astaghfirullah, “ lirihnya. Tubuhnya seperti diputar-putar, perut yang penuh seketika ingin dikosongkan. Dia sudah berjalan cukup jauh dari resto. Matanya melirik sekitar, tidak ada satu pun orang yang berada di dekatnya.
Raina pasrah, berserah diri karena kakinya mulai gemetar. Pandangannya mulai memburam, tubuh tak berdaya itu jatuh di dekapan seorang pria yang tak sengaja lewat. Pria itu menggendong Raina, menurunkannya di depan ruko kosong.
__-__
Aroma minyak angin yang kuat menusuk indra penciuman Raina, membuat perempuan yang bersandar pada tembo ruko terpaksa meninggalkan alam bawah sadar. Raina mengerang tak jelas, terganggu dengan pertanyaan-pertanyaan yang dilayangkan pria itu.
“Kamu tidak apa-apa, Raina?”
Raina membuka matanya perlahan, sinar matahari membuat penglihatannya sedikit buram. Saat semuanya jelas, tubuh lemah itu tersentak, menyeret mundur seakan pria dihadapannya adalah binatang buas yang siap menerkam.
"Apa yang kamu lakukan disini?"
Terimakasih telah membaca sampai disini. Sayang kalian.
KAMU SEDANG MEMBACA
Imam Beda Iman | Jaehyun ✓
Fanfiction"Dimana Abi sekarang, Umi?" "Abi bersama keluarga barunya." "Kenapa tidak bersama kita?" "Karena Abi menang, dia lebih memilih Tuhannya ketimbang memilih Umi." Pernikahan beda iman itu berat, dan Jaehyun memilih melepas beban itu dari punggungnya.