Tubuh kecil itu terpelanting tujuh meter, bergesekan dengan aspal kasar dan menghantam pembatas jalan. Sedangkan Jenta terdiam dengan mata terbuka lebar, tangannya masih terjulur. Teriakan Raina melengking hebat, dia berlari dan menyambar tubuh anaknya.
"Litana! Jangan tutup mata, Sholehah!" pekik Raina.
Namun anak perempuan itu sangat mengantuk sekarang. Kepalanya pening karena mendengar Ayah berteriak kepada pengendara yang menabraknya, telinganya berdengung hebat. Suara Umi dan Ayah perlahan menghilang, berujung sepi.
Hari ulang tahun yang seharusnya bahagia berubah menjadi kelam, Jenta tidak lagi ingin tersenyum di hari kelahirannya ini.
"Jenta?" Kepala pria itu menoleh, bahunya seketika menegak dan langsung berdiri karena kehadiran orang tua Raina.
"Apa yang kamu lakukan disini, Jenta?" tanya Bapak.
Pria itu tak lantas menjawab, dia memandang wajah Bapak yang berubah. Kerutan bertambah dan Bapak duduk di kursi roda.
"Bapak disini mau periksa bulanan aja, kalau kamu sedang apa, Jenta?" tanya Bapak sekali lagi.
"Jenta! Bagaimana keadaan, " ucap Raina terhenti. Wajahnya yang sudah pucat semakin memutih karena melihat kedua orang tuanya. "Bapak, Ibu." Sudah empat tahun perempuan itu tidak pulang, mencoba menyimpan masalahnya sendirian.
"Raina, bagaimana kabarmu? Ibu merindukanmu." Ibu memeluk Raina erat, tidak memperdulikan gamis perempuan itu yang kotor. "Mengapa kamu disini? Siapa yang sakit?" tanya Ibu lembut sembari mengelus punggung Raina.
Mata Raina melirik Bapak yang duduk di kursi roda, bertanya-tanya kemana dia selama ini hingga tidak tau orang tuanya sakit. "Maafin Raina, Bu. Maaf." Tubuh Raina merosot ke bawah, dia memeluk kaki Ibu erat dan menangis.
"Tidak apa, Sayang. Ibu yang seharusnya meminta maaf, maaf karena sudah memaksa Raina menuruti kemauan Ibu dan Bapak." Ibu mengusap kepala anak perempuannya, sungguh dia menyesali keegoisannya terhadap Raina.
Raina berpindah, dia memeluk kaki Bapak. Mengecup kaki berbalut celana hitam lusuh dengan tangis yang semakin menjadi. "Maafkan Raina, Pak. Raina anak durhaka karena tidak mendengar perkataan Bapak. Maaf, Pak, " isaknya membuat Bapak meringis menahan tangis.
"Ini bukan kesalahanmu, Nak. Ini salah Bapak, Bapak minta maaf. Demi Allah, selama ini Bapak hidup dalam penyesalan karena tidak bisa menjadi permata ini." Bapak meraih wajah Raina, menyentuh pipi tirus itu dan diusap.
"Permata yang dulu Bapak kira sudah mampu Bapak jaga. Namun Bapak salah. Selama ini Bapak tidak menjaga, Raina. Bapak hanya mengasah permata itu hingga mengkilap, dan lupa menaruhnya di peti kaca."
Perempuan itu memeluk Bapak erat, menangis di dada orang yang selama ini dia hindari. "Bapak, Ibu. Raina ingin jujur." Raina melepas pelukan dan berdiri tegap.
"Raina tak lagi bersama Mas Jaehyun dan Raina sudah memiliki anak. Dia berada disana." Jemari perempuan itu menunjuk IGD, membuat orang tuanya lantas menutup mulut.
"Maaf."
__-__
Setelah menunggu cukup lama, Litana dipindahkan ke ruang rawat kelas VIP. Jenta yang menyuruh begitu, karena dia tidak ingin anak semata wayangnya terganggu dengan suara pasien lain.
"Ayo bangun, Sholehah. Umi tidak mau berhenti menangis jika Litana tidak bangun." Jemari pria itu menusuk-nusuk pipi Litana.
"A-ayah, " ucap gadis kecil itu terbata-bata, matanya mulai terbuka dan melirik Jenta dan Raina bergantian.
"Litana? Ini Umi, Sayang. Bagian mana yang sakit?" tanya Raina cepat.
Litana menatap uminya lekat, keningnya berkerut bingung. "Umi, Umi omong apa?" Gadis kecil itu sama sekali tidak mendengar perkataan Raina, dia hanya melihat uminya menggerakan mulut tanpa bersuara.
"Litana! Litana bisa dengar Umi!" teriak perempuan itu sembari menangis. Anaknya menggeleng lemah, membuat tubuhnya lemas dan terjatuh menyentuh lantai.
"Gendang telinga pasien robek. Saya bisa saja melakukan operasi untuk membuatnya kembali berfungsi, tapi pasien mengalami kerusakan sampai pada tahapan kerusakan saraf, dan saya rasa tidak bisa sembuh sama sekali."
Jenta dan Raina terdiam mendengar diagnosa dokter, tatapan mereka benar-benar kosong. Entah siapa yang harus disalahkan. Pengemudi yang menabrak Litana adalah anak di bawah umur, tidak sampai hati Raina menyeret pemuda itu ke ranah hukum.
Mereka berdua keluar dari ruangan dokter dengan wajah yang tidak lagi bisa berekspresi. Perempuan itu tidak lagi menangis, matanya sudah kering kelontang. Sedangkan Jenta terdiam seribu bahasa, berpikir bagaimana cara menjelaskan keadaan ini pada Litana.
"Assalamu'alaikum." Jenta dan Raina menghampiri Litana yang tertidur ditemani Zainab, orang tua perempuan itu sudah pulang karena Bapak harus istirahat.
"Bagaimana?" tanya Zainab dengan berbisik. Raina menggeleng kepala, lantas memeluk sahabatnya.
"Allahumma inni as-aluka nafsan bika muthma-innah, tu'minu biliqo-ika wa tardho bi qodho-ika wataqna'u bi 'atho-ika, " bisik Zainab berulang kali tepat di telinga Raina, membawa perempuan itu duduk di sofa dan tetap didekap hingga Raina jatuh tertidur.
"Ya Allah, aku memohon kepada-Mu jiwa yang merasa tenang kepada-Mu, yang yakin akan bertemu dengan-Mu, yang ridho dengan ketetapan-Mu, dan yang merasa cukup dengan pemberian-Mu, " ucap Zainab sebelum melepaskan pelukan dan menidurkan kepala Raina di bantal yang berada di tangan sofa.
"Bisakah aku marah sekarang, Zainab?"
"Untuk apa kemarahanmu itu, Mas. Raina sendiri saja tidak marah, dan aku yakin Nana juga tidak akan marah. Kita hanya butuh waktu untuk menerima ketetapan Allah."
"Tapi, " ucap Jenta lirih, dia tak ikhlas dengan semua ini. Putri kecilnya kehilangan pendengaran karena pemuda di bawah umur yang baru belajar menyetir mobil, bukankah pemuda itu harus mendapat hukuman setimpal.
Perempuan bertudung biru laut itu menoleh dan tersenyum. "Memangnya jika anak itu masuk penjara, Nana akan dapat mendengar lagi? Tidak, Mas. Mau kamu membunuh anak itu, Nana akan tetap tuli. Lebih baik kamu sholat maghrib, bersyukurlah karena sekarang kamu masih diberi kesempatan untuk menjaga Litana."
Sedari tadi pria itu tidak menangis, air matanya tak bisa turun karena rasa sakit yang begitu dalam. Namun saat sujud, air mata jatuh tanpa henti. Jenta mencoba menahan isaknya sampai salam.
"Ya Allah. Maafkan hamba-Mu yang tidak bisa bersyukur ini, maafkan aku yang tidak bisa melihat kebaikanmu dalam masalah ini. Terima kasih karena masih memberikan kesempatan untuk menjaga Litana. Terima kasih karena Litana masih diijinkan tinggal di dunia ini, walau putriku tidak akan bisa lagi mendengar suaraku."
Jenta berdiam di musholah rumah sakit lebih dari tiga jam, dan akhirnya berdiri dan berjalan menyusuri lorong yang mulai sepi karena hari sudah larut. Mata pria itu mendelik saat menemui sosok Raina yang terduduk di depan ruangan Litana.
"Kenapa kamu duduk di luar, Raina?"
Perempuan yang ditanya itu menoleh, kepalanya tertunduk sembari mengangkat selembaran berbentuk surat bewarna coklat keemasan.
"Apa aku berhak menyerah sekarang, Jen?"
Sudah dekat dengan ending
KAMU SEDANG MEMBACA
Imam Beda Iman | Jaehyun ✓
Fanfiction"Dimana Abi sekarang, Umi?" "Abi bersama keluarga barunya." "Kenapa tidak bersama kita?" "Karena Abi menang, dia lebih memilih Tuhannya ketimbang memilih Umi." Pernikahan beda iman itu berat, dan Jaehyun memilih melepas beban itu dari punggungnya.