Kopi dan Gula

1.1K 193 45
                                    

Makan bersama kemarin adalah acara terakhir Jaehyun dengan Lea, perempuan itu hilang entah kemana setelah melenggang pergi

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Makan bersama kemarin adalah acara terakhir Jaehyun dengan Lea, perempuan itu hilang entah kemana setelah melenggang pergi. Jaehyun sudah mencari kebeberapa hotel mewah sekitar Jakarta, tapi tidak ada nama Lea disana.

Berkeliling bersama Pak Broto sungguh membosankan, pria tua itu terlalu segan untuk sekedar membuka mulutnya. Sedangkan Jaehyun di kursi belakang hanya bisa berdiam sembari menunggu sampai ke tujuan selanjutnya.

"Bisa putar balik, Pak. Kita ke Perumahan Bunga saja, nanti saya arahkan, " ucap Jaehyun, Pak Broto mengangguk sopan dan lantas membanting setir ke arah kanan.

Rumah besar dengan arsitektur eropa terlihat indah, warna putih yang mendominasi menambah kesan sejuk. Beberapa pilar besar di pintu masuk membuat bangunan itu tampak kokoh, Jaehyun teringat bagaimana susahnya dia membujuk Raina untuk menyetujui desain rumah itu.

Raina tidak suka dengan hal mewah, dia lebih senang dengan gaya minimalis dan sederhana. Berbanding terbalik, Jaehyun sangat menyukai perihal yang bernuansa mewah dan mahal. Bangunan di hadapannya ini menghabisnya uang sangat banyak, tapi saat itu yang terpenting adalah kenyamanan Raina.

"Abi!"

Jaehyun yang sedang melihat barisan pohon pinus di bagian gerbang depan menoleh ke arah belakang, dia tersenyum teduh saat melihat Litana berlari menghampirinya. Kegelisahan yang menggerogoti hatinya seketika menghilang, pelukan hangat dari anak perempuannya membuat Jaehyun lega.

"Maaf karena tidak mengetahui kehadiranmu lebih cepat, Litana, " bisiknya pelan. Dia semakin memeluk erat Litana, mengangkat gadis kecil itu dan memberi hujan kecupan. "Maaf." Kata itu terus saja Jaehyun gumamkan sembari mengusap kepala Litana yang dilapisi tudung.

Gadis kecil itu mengernyitkan dahi, matanya menyipit dan mulutnya mengerucut lucu. "Kenapa Abi nangis? Jangan nangis, Abi." Jemari kecil Litana mengusap pipi basah Jaehyun, menarik sudut bibir sang Abi ke atas. "Abi harus senyum. Soalnya kalau senyum, Abi jadi tampan sekali!" pekiknya sembari menyembunyikan wajah merona di curuk leher Jaehyun.

Pria dengan sweater hitam itu terkekeh geli, darimana anaknya belajar menggombal. "Dimana Umi?" tanya Jaehyun perlahan, membiarkan Litana membaca gerak bibirnya.

"Di dapur, lagi bikin sarapan. Abi ikut sarapan? Ada Ayah Jenta dan Aunty."

Ayah? Jadi anaknya menyebut Jenta dengan sebutan Ayah. Benar sekali, Jaehyun sudah tidak lagi ada dalam cerita Raina, dia hanya memiliki sedikit hak dalam kehidupan Litana.

"Boleh, ayo kita masuk." Jaehyun menggendong gadis kecil itu dari depan gerbang sampai ke dalam rumah, mereka bercanda sembari saling memberi kecupan di pipi. Masalah pria itu seakan raib, tertelan oleh sang kupu-kupu yang menggelitik perutnya.

"Eh! Ada Jaehyun!" pekik Zainab yang sedang menata piring di meja makan, dia berusaha untuk menetralkan ekspresi wajahnya karena melihat Litana sangat bahagia dalam pelukan Jaehyun. "Ayo duduk, Jaehyun. Nanti saya panggil Mas Jenta sama Raina, kalian duduk duluan saja."

Canggung, suasana di meja makan kali ini tampak berbeda karena kehadiran Jaehyun. Tidak ada yang membuka suara selain Litana yang terus mengoceh, dia bercerita tentang Bapak wali kelas di atas pangkuan Jaehyun

"Ternyata Bapak wali kelas kenal Abi, kemarin sebelum naik panggung Litana dikasih tunjuk foto Abi. Karena foto Abi, Litana jadi gak gugup lagi. Soalnya Abi tampan sekali!" pekik gadis kecil itu gemas, dia mencuri satu kecupan di pipi kanan Jaehyun.

Perempuan dengan tudung biru tua menggigit bibirnya gelisah, kedatangan Jaehyun yang tidak diundang membuat dirinya merasa tidak enak hati kepada calon suaminya. "Maaf ya, Mas, " bisiknya kepada Jenta yang duduk di sebelahnya.

Jenta yang mendengar Raina memanggilnya dengan sebutan mas hampir saja memuntahkan makanan, semburan merah di pipinya tak membiarkan dia menyembunyikan rasa senang.

"Pelan-pelan, Ayah, " ucap Litana sembari tekekeh geli, sang Ayah memang suka salah tingkah kalau di dekat Umi.

Sarapan mereka ditutup dengan Litana yang menangis, dia tidak mau Jaehyun pulang dan meminta pria itu untuk menginap. Untung saja Jenta bisa menenangkan Litana, membawanya bermain di taman belakang.

"Bisa berbincang sebentar, Dek?"

Dari pertanyaan Jaehyun, mereka berdua berakhir duduk di sofa ruang tamu. Sebenarnya Raina ingin menolak, tapi jika dia pikir ini adalah kesempatan untuk mengakhiri semuanya jadi tidak ada salahnya.

"Kamu mencintai Jenta?"

Pertanyaan Jaehyun lagi-lagi membuat perempuan di seberangnya tersenyum. "Aku mencintai Mas Jenta karena Allah."

Kedua alis Jaehyun menyatu, matanya mendelik heran. Apakah mencintai dengan alasan itu cukup, apakah cinta seperti itu dapat membuat Raina lebih bahagia daripada saat bersamanya?

"Barang siapa yang mencintai karena Allah, membenci karena Allah, memberi karena Allah dan tidak memberi karena Allah, maka sungguh telah sempurna Imannya. Hadits riwayat Abu Dawud dan At-Tirmidzi."

"Tujuan hidupku hanya menyempurnakan imanku, Mas. Pertama aku pikir kamu bisa membantuku, tapi ternyata tidak. Tak apa, karena kehilanganmu membukakan jalan lain untuk menuju surga yang sebenarnya."

Raina mengangkat teko keramik, menuangkan kopi panas ke dalam cangkir yang berada di atas meja.

"Saat aku menyeduh kopi dan gula, minuman itu disebut kopi manis bukan kopi gula. Dan saat aku menyeduh teh dan gula, minuman itu disebut teh manis bukan teh gula."

Jaehyun mengangkat kepalanya, kembali tenggelam dalam netra indah milik mantan istrinya. Raina tersenyum teduh, dia memainkan teko keramik dengan jemarinya.

"Gula tidak disebut namannya, tapi dia selalu disalahkan. Kopinya terlalu pahit, yang disalahkan gula. Kopinya terlalu manis, yang disalahkan juga gula. Namun saat kopi itu terasa enak, siapa yang dipuji? Kopinya mantap. Gula tidak dapat pujian."

"Apa maksudmu, Dek?" tanya Jaehyun bingung.

"Tidak bermaksud apa-apa, aku hanya memberikan kamu filosofi ikhlas. Mencintai juga seperti itu, Mas. Kadang kala kamu harus menjadi gula demi memberi kebahagian pada penikmat kopi, menjadi tidak terlihat namun berkesan."

"Cinta tidak selalu perihal memiliki, terkadang kamu harus melepaskannya seseorang dan membiarkannya bahagia dengan yang lain. Aku memang mencintaimu, tapi untuk memiliki seperti tidak perlu karena kebetulan aku suka kopi tanpa gula, " lanjutnya sembari mendorong cangkir berisi kopi panas ke hadapan Jaehyun.























Sayang Kalian

Imam Beda Iman | Jaehyun ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang