Jerman dan Jakarta tidak berbeda jauh, keramaian tiap pagi sama padatnya. Mungkin letak perbedaannya ada dalam diri pria itu sendiri. Selama di Jerman Jaehyun tidak cukup bahagia, bayang-bayang Raina yang tersenyum kerap datang menghantui.
Berita perceraian mereka hanya sampai ke beberapa pihak, atau bisa disebut hanya keluarga besar Jaehyun. Pria dengan bahu lebar itu bahkan tidak memberitahu Jenta, Jaehyun takut sahabatnya terbang kembali ke Jakarta dan mengejar cinta Raina.
Jaehyun memang pria egois. Dia mencampakan Jenta, sahabatnya yang sedari dulu menghadapi manis pahit kehidupan bersama hanya karena seorang perempuan.
Jika dihitung-dihitung, Jenta sering menelpon Jaehyun, berniat menanyakan kabar atau sekedar melepas rindu. Namun, hanya satu-dua kali pria itu menerima telepon Jenta.
Layaknya buku yang sudah dibaca sampai kalimat terakhir, Jaehyun menutup buku itu dan menaruhnya di rak tertinggi dalam perpustakaan kenangan. Dia membuka buku baru, mengisi halaman-halaman awal dengan melupakan semua sosok yang pernah ada di buku sebelumnya.
Kaca mobil berembun disebabkan sisa hujan tadi subuh, beberapa kendaraan pribadi saling berlomba mengejar aktivitas masing-masing. Satu-dua dari mereka masih memakai jas hujan karena takut rintik kembali jatuh, dan sisanya berpikir positif bahwa hujan tidak akan lagi mengguyur Jakarta pagi ini.
Jaehyun menatap layar ponselnya, ada foto seorang gadis kecil disana. Cantik, mata yang tidak terlalu bulat, hidung bangir dan senyuman dengan lesung pipit di tiap sudut pipi menambah kesan manis. Semakin Jaehyun melihat foto itu, semakin dia sadar bahwa gadis kecil itu persis seperti dirinya tiga puluh tahun yang lalu.
"Tuan, kita sudah sampai."
Suara Pak Broto merusak lamunan Jaehyun. Pria itu menoleh ke depan, memasukkan ponselnya ke saku celana dan tersenyum simpul.
"Terima kasih, Pak. Nanti gak usah jemput, saya pulang bareng Yuda." Jaehyun keluar dari mobil hitam keluaran terbaru, matanya berkeliaran sembari memasuki kawasan sekolah.
Lapangan sebesar satu lapangan sepak bola dipenuhi oleh murid dan wali murid, Raina dan Zainab sedang sibuk membeli beberapa cemilan di stand makanan sembari menunggu Jenta yang mencari parkir.
"Kamu mau beli apa lagi, Zainab?" tanya Raina, dia sudah jengah mengikuti langkah sahabatnya dari ujung ke ujung hanya untuk membeli cemilan dan barang-barang tak berguna. "Lihat! Tanganmu sudah penuh. Lebih baik kita cari tempat duduk, kalau gak kebagian Jenta bisa ngomel-ngomel."
Tanpa persetujuan dari Zainab, Raina menarik tangan perempuan itu ke arah deretan kursi penonton. "Kamu disini, jagain kursinya. Aku mau cari Jenta."
Di lain tempat, gadis kecil dengan tudung biru muda sedang mengigit bibirnya gelisah. Litana merupakan peserta pertama yang akan menaiki panggung, kurang dari lima menit lagi namanya akan dipanggil dan dia belum siap.
"Ya Allah, kok jantung Litana gak bisa diem sih, " keluhnya sembari mengusap dada berkali-kali. Dia sekarang berada di belakang panggung, matanya memerah karena menahan tangis.
"Kamu kenapa?" tanya Yuda yang secara tiba-tiba muncul di hadapan Litana, gadis kecil itu sampai memundurkan langkah karena terkejut dengan kehadiran Bapak wali kelas. "Jangan nangis, Bapak punya hadiah buat Litana."
Yuda merogoh saku kemejanya, mengambil ponsel dan menekan-nekan layar persegi panjang tersebut sebelum menyodorkannya kepada Litana. Sorot mata Litana langsung berubah, kegelisahannya meluap dan diganti dengan binar kelap-kelip.
"Kamu kenal orang ini?" tanya Yuda.
Litana mengangguk semangat, senyumnya merekah sempurna. "Ini Abi! Tampan sekali!" pekiknya senang sembari menangkup kedua pipinya yang merona. "Kenapa Bapak wali kelas punya foto Abi?"
Yuda menarik tangannya, memasukkan ponsel ke saku kemeja dan mencubit pipi berisi Litana. "Kalau itu rahasia. Sekarang lebih baik kamu naik panggung, nama kamu udah dipanggil, " ucapnya dengan bahasa isyarat.
Gadis kecil itu berlari kecil menaiki panggung, tangannya seketika melemas saat melihat betapa banyaknya penonton yang duduk melihatnya penuh minat. Untung saja Litana memakai mic telinga, kalau tidak, pasti dia tak bisa mengangkat tangannya.
Litana mengedarkan pandangan, dia menemukan Ayah bersama Umi dan Aunty yang melambaikan tangan sembari berteriak heboh menyemangati dirinya. "Aku bisa, " gumamnya sembari menghembuskan napas pelan.
"Assalamu'alaikum, nama saya Litana Habiba dari kelas Satu Mawar. Hari ini saya akan membacakan puisi berjudul Abi."
Perempuan dengan tudung abu-abu gelap itu membolakan mata, napasnya tertahan saat mendengar pernyataan Litana. Dia melirik pria di sebelahnya, merasa tak enak hati karena pengorbanan Jenta selama ini lebih dari kata banyak.
"Dia berhak merindukan Abinya, Raina. Lagi pula aku ini obat, yang kadang kala hanya bisa meredakan rasa rindu bukan menghilangkannya, " ucap Jenta sembari tersenyum pahit.
Raina menghembuskan napas pelan, kepala kembali menoleh ke depan. "Kamu lebih dari sekedar obat, Jen. Kamu sudah menjadi rumah sakit untuk aku dan Litana."
"Kita tidak pernah bertemu, kita juga tidak pernah mendengar suara masing-masing. Tapi melihat senyum Abi di foto itu, aku tau kalau Abi adalah orang terbaik di dunia."
Litana tersenyum teduh, menatap mata Umi sebelum melanjutkan puisinya. "Kata Umi, Abi adalah pria terbaik. Kata Umi, Abi adalah pembuat kue red velvet terenak satu bumi. Kata Umi juga, Abi bisa bernyanyi merdu dan menceritakan dongeng sebelum tidur."
Raina memejamkan kedua netra yang mulai memanas dan menggigit bibir bawahnya. Tepat pada malam ulang tahun Litana, dia menceritakan semua tentang Jaehyun. Mulai dari warna kesukaan hingga bagaimana cara pria itu tersenyum.
Sorot mata Litana berubah sendu, suaranya mulai bergetar namun dia menahannya.
"Tapi kata Umi, Abi tidak bisa pulang. Karena Abi bukan lagi bagian dari cerita kita. Apakah itu benar? Aku tidak tau."
Litana kembali melirik penonton, dan kali ini matanya bertemu dengan netra gelap milik salah satu pria di balik kerumunan. Pria itu berdiri tegap dengan kemeja hitam yang mirip dengan kemeja di foto pemberian Umi. Tapi pria itu terlalu jauh, Litana hanya bisa melihat senyum pria itu samar-samar dan membalas dengan senyuman tak kalah manis.
"Abi, apa Abi tidak merindukan aku? Abi tolonglah pulang, " ucap gadis kecil itu dengan air mata yang mulai jatuh bersamaan dengan tepukan riuh penonton.
"Abi akan pulang, Litana. Abi akan pulang."
Kalian diam-diam di rumah saja ya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Imam Beda Iman | Jaehyun ✓
Fiksi Penggemar"Dimana Abi sekarang, Umi?" "Abi bersama keluarga barunya." "Kenapa tidak bersama kita?" "Karena Abi menang, dia lebih memilih Tuhannya ketimbang memilih Umi." Pernikahan beda iman itu berat, dan Jaehyun memilih melepas beban itu dari punggungnya.