Satu semester terlewati, semester dua pun sudah berjalan kurang lebih lima bulan. Kalau dihitung-hitung, Litana sudah bersekolah cukup lama dan dirundung selama itu juga. Tak diambil hati, hanya saja terkadang mereka terlalu berlebihan.
"Anak-anak tenang dulu! Wina, duduk di bangkumu!" teriak pria yang menjabat gelar wali kelas itu, wajahnya tampak frustasi karena sudah sepuluh menit berdiri dan berteriak kepada muridnya yang tidak bisa diatur.
Pria berkemeja putih bersih itu menarik napas, menghembuskannya perlahan. Wajah yang tadi tampak manis berubah menjadi tegas, dia menatap tajam muridnya satu per satu. "Duduk atau keluar, " ucapnya dengan nada intimidasi.
Satu kelas langsung tenang, Wina yang tadi berlari kesana-kemari sekarang berhenti bergerak dan duduk di kursinya.
"Masyaallah, semua anak Bapak pintar, " ucap pria itu dengan senyum mengembang, namun entah mengapa terlihat menyeramkan bagi para murid kecuali Litana.
Anak perempuan dengan tudung putih menutup dada terkekeh melihat wajah pria di depan sana, menurut Litana Bapak wali kelas sangat lucu dan menggemaskan jika marah-marah.
"Sebelum ujian kenaikan kelas, pihak sekolah mengadakan acara lomba. Ada lomba mewarnai, menyanyi, menari, dan lomba membaca puisi. Bapak tidak akan menunjuk siapa yang ikut, yang mau boleh tunjuk tangan."
Mata Litana berbinar dan lantas mengangkat tangan kanannya tinggi-tinggi. "Aku mau ikut lomba baca puisi, Pak!" pekiknya sembari tersenyum hingga kedua cacat dipipinya tercetak jelas.
"Yang gak bisa dengar gak boleh ikut lomba!" teriak Nelos dari kursi paling belakang dan disambut dengan tawa dari murid lainnya.
Litana menoleh ke segala arah, menatap bingung ke arah teman sekelasnya yang tertawa. "Apa yang mereka tertawakan?" tanyanya pelan sembari kembali menatap Bapak wali kelas yang memandang gadis kecil itu iba.
"Lomba mewarnai, menyanyi, menari, dan lomba membaca puisi tidak perlu pendengaran, Nelos. Kamu hanya perlu keterampilan." Pria itu menghampiri kursi Litana. "Ke ruangan Bapak, kita bahas lombanya disana, " ucapnya menggunakan bahasa isyarat sebelum meninggalkan kelas.
Saat Litana hendak berdiri dari kursinya, Nelos datang dan mendorong bahu gadis kecil itu hingga Litana terpaksa duduk kembali.
"Kamu itu budeg, gak usah sok ikut lomba! Gak bakal menang!" marah Nelos sembari menarik kerudung Litana.
Litana meringis, dia mencoba menepis tangan Nelos agar tudungnya tak lepas. "Jangan!" teriak Litana sembari mendorong tubuh Nelos hingga anak itu terjatuh, melihat ada kesempatan Litana lantas berlari menuju ruangan Bapak wali kelas.
"Alhamdulillah, untung rambut aku gak keliatan, "ucapnya sembari membenarkan posisi tudung yang sedikit berantakan.
Litana mengetuk pintu berwarna hijau tua, mengucapkan salam dan masuk. Bapak wali kelas sontak menoleh, menatap anak muridnya dan tersenyum teduh. "Duduk disini, Litana, " ucapnya sembari menunjuk sofa panjang di seberangnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Imam Beda Iman | Jaehyun ✓
Fiksi Penggemar"Dimana Abi sekarang, Umi?" "Abi bersama keluarga barunya." "Kenapa tidak bersama kita?" "Karena Abi menang, dia lebih memilih Tuhannya ketimbang memilih Umi." Pernikahan beda iman itu berat, dan Jaehyun memilih melepas beban itu dari punggungnya.