"Hah ... padahal akan lebih cepat jika kau tidak keras kepala ingin membuka milik Noah." Liam yang baru saja melepas ikatan milik kembarannya pun menyindirku.
Iya, memang aku tadi bersikeras ingin membuka ikatan Noah terlebih dahulu. Padahal Liam sudah mengatakan jika aku tak akan bisa melakukannya.
Aku tidak mau menghampiri Liam terlebih dahulu – meski aku sudah tahu jika akan lebih mudah membuka miliknya duluan. Ya jelas saja ... aku tidak menyukainya.
Oh ayolah, dia tak ada tanda terima kasih sama sekali! Lihat kan?! Bocah zaman sekarang memang kurang ajar, ck ck ck.
"Sudahlah Liam, yang terpenting kita sudah bebas sekarang," ujar Noah menengahi, "Ara, apa tanganmu tak apa?"
Aku mengangguk pelan. "Hanya lecet sedikit."
"Berikan tanganmu," pinta Noah seraya mengulurkan tangannya.
"Huh?" Aku sedikit memiringkan kepalaku.
Liam yang tadi hanya memerhatikan langsung memukul tangan kembarannya. "Apa kau gila? Jangan bilang kau ingin menyembuhkan luka sekecil itu? Dia juga tidak sedang sekarat!"
Oy, oy, oy, apa kau sedang mendoakan agar aku sekarat, hah?
"Ara telah membantu kita, Li, ini hanya bentuk rasa terima kasihku," ungkap Noah. Penuturannya terkesan dingin, berbeda saat berbicara denganku.
Aku yang paham maksud mereka pun menggeleng. "Tidak, Nowa, Ala tak apa, ini hanya luka kecil saja."
"Tuh kan! Dia saja menolak!" timpal Liam yang menolak mentah-mentah niatan baik Noah.
Astaga, apa Liam ini tidak bisa berpikir? Kenapa dia malah teriak-teriak, hah?!
Namun Noah mengabaikan ucapan saudaranya. "Tidak, Ara, kemarikan tanganmu. Aku akan mengobatinya sedikit."
Liam mengigit bibir bawahnya. "Tidak, Noah! Aku ti—"
"Diamlah," desisku tajam.
Liam langsung bertekuk lutut. Meringis pelan seraya memegangi tulang keringnya yang aku tendang barusan.
"Liam, tenangkan dirimu. Saat ini kita tawanan. Jika terlalu berisik, mereka akan datang untuk mengecek kita," peringat Noah.
Oh maafkan aku Liam, aku hanya tidak mau mati di tangan para bandit. Lukamu tak seberapa dengan nyawa kita bertiga yang berada di ujung tanduk sekarang.
Aku mengembuskan napas panjang. "Kalian jangan belisik. Banyak penjahat di bawah."
Noah mengembuskan napas panjang. Ia terlihat sangat frustasi, sama seperti diriku. Sedangkan Liam diam-diam merajuk. Entahlah, mungkin saja dia tengah menangis.
"Ara, apa kamu benar-benar tidak mau aku sembuhkan?" tanya Noah untuk terakhir kalinya.
"Tidak, aku tak apa-apa." Lagipula jika aku menerimanya, pasti Liam akan membenciku sepenuhnya.
Aku sendiri pun ingin mengambil kesempatan dari lecet ini untuk menaikkan tingkat afeksi pelayan dan ksatria di rumah. Hohoho, betapa jeniusnya aku.
"Baiklah, aku tak akan memaksanya," lirih Noah yang terdengar kecewa.
Oi, apa kamu sengaja ingin membuatku merasa bersalah, hah? Tidak, tidak, kamu kurang profesional, Noah. Biar kakakmu ini tunjukkan!
Aku berjalan mendekat. Tangan mungilku menarik ujung baju Noah. Dengan wajah memelas aku bertanya, "Apa Nowa malah ke Ala?" Aku membuat ekspresi seperti akan menangis.
"H-huh? Tidak ... a-aku tidak marah, Ara." Noah terlihat panik sekarang.
Kan ... aku lebih profesional, Noah. Aku ahlinya dalam bidang ini, hohohohoho.
KAMU SEDANG MEMBACA
Fragile Fantasy
Fantasy[Bukan Novel Terjemahan] / [Slow Update] Lena mati karena menjadi sasaran tembak perampok bank. Padahal ia hanya ingin pulang ke rumah dengan damai setelah bekerja. Saat ia membuka mata, Lena bertemu dengan sosok yang menyebut dirinya dewa dan menda...