Kinanti Laudyara adalah seorang PA profesional. Jasanya sudah terdengar hingga ke selesar istana para konglomerat tanah air maupun mancanegara. Dalam kurun waktu sepuluh tahun, ia sudah pernah bekerja pada belasan keluarga old-money yang tersebar di...
Rob Budiatomo. Ingatkan aku untuk mencak-mencak padanya setelah ini. Damn it. Karena dia aku kehilangan muka di hari pertamaku bekerja. Bagaimana mungkin dia lupa memberitahuku kalau kontrak yang aku tanda tangani itu sudah diperbarui? Demi Tuhan! Kontrak yang aku baca itu kontrak yang pertama dia berikan. Apa pria tua itu sengaja menjebakku?
Dan lagi ini. Siapa yang menyangka kalau seorang Hanggara Nareno masih memiliki pemikiran sekuno ini? Dengan kata lain, dia benar-benar brengsek. Pria itu meremehkanku. Memandang sebelah mata waktu yang aku habiskan di dunia perkacung-ekslusif-an ini. Terlebih, dia menyinggung harga diri yang mati-matian aku junjung tinggi dan meragukan kredibilitas agensi.
Sebenarnya siapa yang bodoh di sini? Dia pikir perjanjian hitam di atas putih yang sama-sama kita tandatangani itu main-main? Dia pikir aku akan sebodoh itu menghancurkan kepercayaan klien? Asal dia tahu saja, Pollings International memiliki aturan paling dasar yang mana menempatkan kepercayaan klien di puncak prioritas tertinggi. Jujur saja, sikap Hanggara Nareno membuatku sempat menyesali tanda tangan senilai puluhan ribu dolar ini.
Intinya, pria sialan itu tidak cukup mempercayaiku untuk mengurus jadwal-jadwal yang berhubungan dengan bisnisnya. Lalu untuk apa gunanya aku di sini?
"Maksud Anda saya hanya akan mengerjakan urusan-urusan pribadi Anda layaknya tugas Hilma?"
Ya, benar. Hanggara Nareno sedang menginjak-nginjak harga diriku.
"Kamu terdengar seperti meremehkan pekerjaan Hilma, Kinanti."
Bukan itu intinya!
"I believe i'm not." Aku tidak yakin nada geram dalam suaraku tidak terdengar sama sekali.
"Kalau begitu bisa kita akhiri diskusi ini? Gara bilang aku memiliki janji penting dengan pak Gubernur. Shall we?"
Dan apa yang aku lakukan setelahnya?
Mengangguk takjim, tersenyum formal, dan menjawab seperlunya. Mau bagaimana lagi? Keputusan akan nasib pekerjaanku sudah final. Aku tidak akan mundur setelah tinta tanda tangan kutumpahkan.
Lagipula, siapa yang akan menolak uang 49.000 dollar untuk waktu sesingkat 8 bulan? Tidak ada. Begitupun denganku. Uang sebanyak itu bisa menutupi satu-dua rencana jangka pendekku. That's a lot of money for such a trivial job! Benar, kan? Si Tuan Muda ingin aku seminim mungkin bersentuhan dengan bisnisnya dan semaksimal mungkin mengurusi kehidupan pribadinya. Dengan kata lain, dia lebih mempercayakan kehidupan pribadinya padaku dibandingkan urusan bisnisnya. Bagus. Aku anggap itu juga merupakan sebuah prestasi yang bisa aku tambahkan dalam CV.
Okay, let's do this. Membuat pengalaman baru tidak akan seburuk itu. Aku hanya bisa berharap si Tuan Muda itu tidak akan banyak berulah, karena aku sudah mulai muak kalau harus bulak-balik menyumpal mulut media.
Percayalah, hampir 40% pekerjaanku bersangkutan dengan hal tersebut. Media. Momok mengerikan yang selalu menjadi titik kekhawatiran bagi semua kaum borjuis yang memikili banyak masalah. It's true. Media bisa menjadi aliansi dan musuh di saat yang bersamaan. Jika satu tujuan mereka berkawan, jika tidak, salah satu dari mereka harus dilawan. Didiamkan mulutnya dengan cara yang tidak selalu memberi kenyamanan.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.