Kinanti Laudyara adalah seorang PA profesional. Jasanya sudah terdengar hingga ke selesar istana para konglomerat tanah air maupun mancanegara. Dalam kurun waktu sepuluh tahun, ia sudah pernah bekerja pada belasan keluarga old-money yang tersebar di...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Aku sudah berusaha berpikir positif.
Sejak menginjakan kaki di lantai apartemen sepulang kerja kemarin malam, aku mencoba untuk tidak berpikir macam-macam mengenai pertemuan Naren dengan Tara yang kemungkinan saat itu tengah berlangsung. Entah dimana. Di kediaman Narenkah atau di kediaman wanita itu sendiri. Tidak mungkin di tempat lain-atau mungkin saja? Shh. Entahlah. Aku tidak peduli-mencoba untuk tidak terlalu peduli, dimanapun mereka memutuskan untuk berbicara, kuharap Tara bisa diajak kerja sama.
Pikiran positif itu masih kutanamkan saat memutuskan untuk menyibukkan diri dengan cara melakukan berbagai macam pekerjaan rumah mulai dari memasak makanan apapun yang bahannya tersedia di dalam kulkas, mencuci piring dan peralatan masak yang tidak seberapa, mengelap meja berkali-kali hingga aku rasa permukaan benda itu bisa merefleksikan bayanganku sendiri, lalu mengganti tirai jendela yang bahkan kainnya masih tercium aroma pewangi. Dan ketika jam dinding menunjukkan pukul delapan malam kurang, aku memutuskan untuk menyikat lantai toilet sebagai pengalihan terakhir. Dari sudut ke sudut, tidak ada yang terlewat.
Aku hanya ingin sibuk agar pikiranku tidak berkelana kemana-mana. Aku berniat 'melelahkan' tubuh agar bisa cepat-cepat beristirahat sehingga tidak memiliki waktu senggang lagi untuk berpikir negatif.
Untuk membuktikan kalau akhirnya aku bisa memberi seseorang kepercayaan sebesar yang kuberi kepada Naren, pikiran negatif itu sama sekali tidak dibutuhkan. Keputusanku mengenai hal tersebut sudah bulat, aku percaya pada Naren dan tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Aku hanya perlu menunggu kabar baik yang akan dia bawa.
Setelah pekerjaan rumah terakhirku selesai, aku beranjak untuk membersihkan diri. Memakai pakaian tidur ternyaman, mengaplikasikan rangkaian produk perawatan wajah lengkap yang biasanya hanya mampu kulakukan sampai langkah kedua. Lalu beberapa detik kemudian aku ingat di atas meja makan ada masakanku yang belum tersentuh sedikitpun.
Namun, sesampainya di sana, makanan itu sama sekali tidak menggugah seleraku. Bukan, bukan karena bentuknya tidak menarik dan tentu sudah kehilangan kehangatannya, tapi karena perutku tidak merasakan keinginan untuk diisi. Bahkan setelah serangkaian pekerjaan berat yang sebelumnya telah kulakukan. Untuk saat ini, peraturan ketat tentang sebisa mungkin jangan skip makan, secara total kuabaikan. Aku hanya duduk diam dan menatap piring berisi nasi goreng mata sapi itu dengan nyalang.
Diam dalam sepi yang semakin lama semakin membuatku frustasi. Suara jarum jam dan robovac yang berjalan mundar-mandir di area ruang tengah tidak memberiku ketenangan yang kubutuhkan.
Aku mendesah, berat. Surai lembabku kusisir kasar kebelakang dengan tangan.
Naren. Tara. Raka. Semi.
Semi.
Semi.
Aku harus ke sana. Benar. Kenapa baru terpikirkan sekarang?